Selasa, 03 Mei 2011

Sharing Jogja II

Para konfrater, kembali saya hadir dengan sedikit coretan tentang pengalaman saya dalam perjumpaan dengan para pengungsi dan pencari suaka lintas Negara. “Orang Katolik perlu tahu migran gelap”, begitulah judul berita dari CathNews, tanggal 1 Maret 2011, yang ditulis oleh Jacob Herin, Maumere.
Berita2 tentang para pelintas batas pencari suaka dan pengungsi ini selalu terlewatkan dari perhatian kita. Dikatakan dalam artikel berita CathNews ini: Para imam dan pekerja gereja sebaiknya memberitahu umat Katolik tentang migran gelap yang terus berdatangan ke wilayah Indonesia. Migran gelap merupakan isu yang kompleks yang telah menyedot perhatian komunitas internasional,” kata Nikolaus Salo, perwakilan International Organization for Migrants (IOM), kepada sekitar seratus orang termasuk imam dan awam pada seminar pekan lalu di Maumere, Nusa Tenggara Timur.
Sebenarnya kalau mau search di Google tentang pencari suaka pelintas batas ini, ternyata banyak berita yang terkini. Ini artinya merupakan masalah kemanusiaan yang aktual dan mendesak yang menjadi persoalan bagi bangsa kita. Seberapa penting urusan pengungsi ini bagi kita yang jauh dari urusan pengungsi? Mungkin kita bisa mengatakan, itu kan urusan pemerintah. Namun kalau kita mendengar tentang kisah penderitaan orang-orang yang hidup sebagai pengungsi di negeri orang, mungkin kita baru sungguh tahu akan penderitaan mereka. Menjadi pengungsi bukanlah pilihan, tapi karena terpaksa, didorong rasa takut oleh karena ancaman dan ingin survive. Saya pun belum pernah menjadi pengungsi, mungkin saya perlu bertanya kepada Keluarga Kudus Nasaret yang pernah mengungsi ke Mesir, atau bertanya kepada konfrater yang sekarang menjadi pengungsi di detensi rumah SCJ Cipinang karena dideportasi dari India, he he.
Pada hari Kamis dan Jumat yang lalu (24-25 Maret) saya mempunyai kesempatan untuk mengunjungi para pengungsi dan pencari suaka yang tersebar di daerah Cisarua, Bogor. Bersama teman-teman JRS kami berangkat hari Selasa dari Jogjakarta, malam hari sampai di Bogor. Saya dan Rm Suyadi SJ tinggal di villa/wisma Jesuit di Cisarua, dan dua teman lain di kantor JRS di Tajur. Esoknya hari Rabu kami belum kunjungan, siang hari kami berangkat ke Jakarta bersama Rm Suyadi ke Wisma Jesuit di Jl. Bluntas, Salemba. Karena dekat dengan RS Sint Carulus maka saya punya kesempatan jenguk Rm Henslok. Malam hari kami kembali naik ke Cisarua.
Kami mengunjungi beberapa keluarga/orang pengungsi saja yang dilayani oleh JRS, ada 4 rumah yang kami kunungi: satu rumah yang berisi 2 orang janda dari Srilanka dengan 5 orang anak yang masih kacil-kecil, satu rumah didiami seorang pemuda dari Sudan, satu rumah didiami oleh 2 orang dari Afganistan, dan satu rumah berisi satu keluarga muslim dengan 4 anak yang masih kecil-kecil dari Srilanka. Sebenarnya masih beberapa rumah lagi yang tidak sempat kami kunjungi.
Mengapa dan bangaimana mereka bisa sampai ke Indonesia, masing-masing mempunyai kisahnya sendiri. Pada umumnya mereka berasal dari negara yang mengalami konflik perang saudara, seperti Afganistan, Iran, Iraq, Sudan, Srilanka dan Pakistan. Dalam konflik itu ada anggota keluarga mereka yang terbunuh, dan tentunya mereka yang masih selamat terpaksa melarikan diri keluar dari negaranya. Dengan berbagai macam cara mereka pergi dari tanah airnya, ada yang lewat kapal laut secara berkelompok, lalu mereka tertangkap di perairan Indonesia. Mereka juga secara pribadi/keluarga ada yang menggunakan pesawat, karena mereka masih mempunyai sisa modal/kekayaan. Ada juga yang dibohongi oleh para makelar/smuggler, mereka dijanjikan untuk dapat mengungsi ke Australia, namun hanya sampai Malaysia atau Indonesia, lalu mereka ditinggal dan akhirnya terlantar, paspor dan visa hilang semuanya. Kebanyakan mereka ditangkap oleh polisi dan diserahkan kepada petugas imigrasi setempat.
Mengapa Indonesia?
Ini ada berita terbaru lagi tertanggal 23 Maret 2011 dari TEMPO Interaktif, Bekasi. Sebanyak 21 pencari suaka asal Afganistan diamankan aparat Mabes Polri ke Polsek Medan Satria, Kota Bekasi, Jawa Barat. Puluhan pencari suaka itu diamankan petugas Mabes Polri, saat melintas di komplek Harapan Indah, Kota Bekasi, Selasa (22/3) malam. Polisi lantas membawanya ke kantor Polsek Medan Satria yang berjarak sekitar 300 meter dari lokasi, dan diinapkan di ruang tahanan. Mereka tinggal di penampungan pengungsi The Church World Service (CWS) di Cipayung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Para pencari suaka itu tidak memiliki dokumen paspor dan visa. Masing-masing orang hanya mengantongi satu lembar surat rekomendasi dari United Nation Hight Commisioner for Refugees (UNHCR). Kepala Kepolisian Sektor Medan Satria Komisaris Triyono, mengatakan mereka bukan imigran gelap. "Resmi pengungsi yang diakui PBB," katanya. Menurut Kepala Subseksi Kantor Imigrasi Karawang Edu Andarius, akan melakukan tindakan pemeriksaan keimigrasian pada ke21 pencari suaka itu. Sebab, kata Edu, berdasarkan informasi International Organization for Migration (IOM), mereka belum terdaftar sebagai pencari suaka. Mengenai surat rekomendasi yang mereka pegang, kemungkinan diajukan langsung ke kantor UNHCR perwakilan Jakarta tanpa melalui IOM. Menurut Edu, Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi persoalan pengungsi lintas negara. Kemungkinan, kata dia, negara ketiga tujuan suaka sebenarnya ke Australia, negara terdekat yang sudah meratifikasi. "Kami senang datang ke Indonesia, situasinya aman" kata Atif, salah seorang pengungsi asal Afganistan, kepada wartawan.
Para konfrater, masih banyak lagi berita serupa yang dapat kita dengar dan baca tentang para pengungsi/imigran lintas negara yang masuk ke Indonesia. Orang-orang yang saya jumpai di Cisarua adalah sebagian kecil saja yang ditangani oleh JRS. Jumlah para pencari suaka dan pengungsi di sekitar wilayah Cisarua kira-kira 400an orang lebih. Mereka semua terdaftar di UNHCR, sebagian besar masih Isylum Seeker (pencari suaka) dan beberapa sudah mendapat status Refugee (semua kebutuhan menjadi tanggungan UNHCR dan menunggu pemberangkatan ke negara tujuan ketiga). Ada tiga organisasi resmi yang menyokong kehidupan para asylum seeker, yang terbesar adalah IOM yang mengambil jatah tanggungan sekitar 300-an orang, kemudian CWS yang mengambil jatah 100-an orang. Sedangkan JRS untuk saat ini hanya menangani 20-an orang saja. Para pencari suaka di daerah Cisarua ini tinggal tersebar di rumah-rumah warga setempat yang disewakan. Semua biaya hidup ditanggung oleh organisasi yang membantu, sebagai contoh JRS menanggung untuk seorang dewasa sebesar 1,4 juta rupiah sebulan (untuk anak2 di bawah usia 16 tahun jatah hidupnya di bawah itu). Dengan uang sebesar itu mereka harus mengatur kebutuhan mereka supaya cukup untuk ongkos sewa rumah, makan minum dan kebutuhan lainnya (transport, pengobatan sederhana, pulsa, dll). Maka selalu disarankan supaya mereka bisa bergabung 2 atau 3 orang dalam satu rumah, supaya bisa mengirit ongkos sewa rumah.
Para konfrater, secara sepintas kita melihat hidup mereka enak, setiap hari mereka cuma makan, tidur, santai, tidak bekerja (sbg imigran mmg tdk boleh bekerja). Ya memang mereka lebih beruntung daripada pencari suaka di tempat lain yang ditampung dalam detensi-detensi pemerintah, mereka seperti di penjara. Tapi menurut saya yang sudah langsung melihat keadaan mereka, walaupun nampaknya enak mereka tetap saja hidup dalam ketidak pastian untuk masa depannya. Sehari-hari mereka banyak di rumah, sekali-sekali bersosialisasi untuk belanja dan keperluan lain. Bisa kita bayangkan mereka orang asing di daerah yang asing, tidak mempunyai kegiatan apapun yang berarti dalam hidup mereka, menunggu dan menunggu, bisa sampai 1 atau 2 tahun bahkan lebih. Tidak heran banyak dari mereka yang mengalami stress, kondisi ini juga mengakibatan mereka mudah terserang macam-macam penyakit (psikosomatis).
Pelayanan JRS untuk para pencari suaka di Cisarua saat ini ditangani oleh 2 orang, mereka berkantor di Tajur (sekitar 30 menit naik motor ke Cisarua). Mereka secara bergantian beberapa hari berkunjung dan mendampingi para migrant yang tinggal berpencar-pencar rumahnya. Pekerjaan mereka antara lain, mengajar bahasa Inggris, membantu urusan-urusan luar yang tidak bisa ditangani sendiri, kadang mengantar ke rumah sakit PMI di Bogor bila ada yang sakit, dll. Pada pokoknya tugas pelayanan JRS adalah menyokong kebutuhan hidup para pencari suaka, mendampingi dan menyiapkan para imigran dalam proses mendapat status refugee dari UNHCR. Proses untuk mendapat status refugee/pengungsi itu sendiri tidaklah mudah, mereka sendiri harus menghadapi interview dari pihak UNHCR di Jakarta, ada yang sampai 2 atau 3 kali mengajukan tapi measih gagal. Dan kalau seseorang sudah mendapat status refugee, hidup mereka akan ditanggung oleh UNHCR dan menunggu pengurusan Paspor dan Visa ke negara tujuan.
Para konfrater, demikianlah sharing saya tentang sekelumit pengalaman saya berjumpa dengan para imigran asing pencari suaka (Isylum seeker) dan pengungsi di Cisarua, Bogor. Bersama teman-teman JRS saya bisa belajar seluk beluk tentang proses penanganan pemerintah terhadap pencari suaka lintas negara, dalam kerjasama dengan organisasi2 nasional maupun international yang menangani kasus imigran lintas negara/pengungsi.
Semoga berguna untuk diketahui. Berkah Dalem
Rm Pram SCJ – Jogjakarta.

Mission of JRS: Accompany, Serve and Advocate the cause of refugees and displaced peoples.