Selasa, 03 September 2013

Sebuah Kisah Korban Perdagangan Manusia - Mau ikut bapak

“MAU IKUT BAPAK” Sebuah Kisah Korban Perdagangan Manusia Pengantar Kisah “SUARA KEBISUAN”, demikianlah judul sebuah buku yang mengisahkan tentang perjumpaan dengan para perempuan korban perdagangan manusia yang diterbitkan oleh Pusat Pelayanan Gembala Baik untuk Perempuan dan anak, bersama dengan lembaga kemanusiaan dari Belanda “Mensen met een Missie”. Yang akan ditampilkan berikut ini adalah salah satu dari delapan kisah menyedihkan para perempuan korban trafficking yang disharingkan dalam buku itu. Buku itu dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang perbudakan di jaman sekarang ini. Ada kisah tentang Sari dan Vera, yang mengalami nasib malang sebegai pekerja migran di luar negeri, dan setelah kembali ke tanah air masih terjebak dalam perdagangan manusia untuk pekerja seks di Batam. Ada kisah Lina, salah seorang dari sekian banyak buruh migran yang dideportasi dari Malaysia. Setibanya di Indonesia Lina mengalami gangguan jiwa akibat perbudakan yang dialami selama bekerja di Malaysia. Ada kisah Mira yang dimanfaatkan diperbudak oleh pamannya sendiri. Dan kisah perempuan-perempuan lain yang mengalami perbudakan akibat berbagai modus perdagangan manusia. Bagi siapapun yang mendengarkan hati nuraninya pasti akan sangat merasa miris melihat atau mendengarkan banyaknya anak-anak, perempuan-perempuan dijadikan pekerja seks atau tenaga kerja paksa. Kita menyaksikan begitu banyaknya penyiksaan, pemerkosaan, peledehan, kekerasan dan masalh-masalah lain dialami oleh saudara-saudari kita yang bekerja di luar negeri, namun tetap saja bekerja ke luar negeri diidolakan oleh banyak orang. Suster Lia RGS, sebagai Koordinator Pusat Pelayanan Gembala Baik untuk Perempuan dan Anak, menyampaikan harapannya kepada para pembaca: “Kami berharap semoga buku ini menyadarkan banyak orang akan maraknya fenomena Tindak Perdagangan Manusia dengan aneka macam modus yang sedemikian cerdik mencari orang untuk diperdagangakan dan siapa saja bisa terjebak menjadi korbannya. Semoga buku ini menggerakkan hati para pembaca untuk menunjukkan solidaritas kepada saudara-saudari yang menjadi korban, dan mengambil langkah untuk bersama-sama menghentikan tindak Perdagangan Manusia yang banyak terjadi di sekitar kita”. “MAU IKUT BAPAK” Berjumpa dengan bapak adalah impian Ristin. “Sejak bapak pergi ke Malaysia, kakak! Bapak pergi bersama dengan teman satu kampung” katanya. Kampung Ristin di Kefa, jauh di perbukitan dan harus ditempuh dengan jalan kaki setelah melalui empat jam perjalanan naik angkutan dari kota Kupang. “Bapak tidak pernah pulang jenguk mama dan anak-anak, tetapi bapak dulu pernah kirim uang untuk keluarga kami. Stelah itu tidak pernah ada lagi kiriman” cerita Ristin. Dia mengatakan bahwa tetangganya yang pergi bersama dengan sang bapak juga bernasib sama, tidak ada kabar dari bapak mereka. Sejak bapak dan laki-laki dewasa di kampung pergi merantau, hanya nenek dan para ibu yang tinggal di kampung karena mereka harus menurus anak-anak kecil. “Nenek, mama dan saudaraku tinggal di rumah peninggalan kakek” kata Ristin. Ristin menggambarkan rumahnya sebagai sebuah rumah khas pedesaan di pinggiran kota Kupang Nusa Tenggara Timur yang atap dan dindingnya terbuat dari daun kering beralas lantai tanah. Tidak ada alat elektronik seperti Televisi yang umum dimiliki oleh masyarakat zaman ini, karena listrik belum masuk di kampung. Mereka memilih berada di dalam rumah bila malam tiba karena penerangan menggunakan obor. Sebagai anak perempuan Ristin harus membantu mamanya bekerja di kebun. Dia hanya merasakan sekolah sampai di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. “Teman-teman banyak yang tidak lanjut sekolah karena harus bantu orangtua” ungkap Ristin. Beratnya kehidupan di kampung membuat Ristin sangat ingin bekerja ikut dengan bapaknya ke Malaysia. “Kata orang, di Malaysia hidup enak, tidak seperti di kampung, bisa beli apa saja gampang. Bayarannya Ringgit, pasti besar” tambah Ristin. Melalui pernyataan ini, dia membandingkan kondisi kampungnya yang serba sulit dengan imaginasi hidup yang bebas dari kesulitan. Malaysia menjadi sebuah tempat imajiner yang menyediakan segalanya. Tempat dambaan yang bukan kampungnya, kampung yang untuk membeli apa-apa harus pergi ke kota. Ristin merasa harapannya terjawab ketika dia berjumpa dengan seorang pria dari kota Kupang. Orang ini menawarkan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga. Ristin waktu itu tidak punya pengalaman apapun. “Om ini mencari anak perempuan yang mau kerja rumah tangga di Kupang. Om itu bilang kalau sudah sampai Kupang nanti bisa kemana-mana termasuk juga ke Malaysia” jelas Ristin. Ristin merasa telah mendapat cara untuk bertemu dengan bapaknya. Tawaran itu langsung dia sambut dengan meminta izin dari mamanya untuk bekerja di Kupang. Waktu berangkat ke Kupang, umurnya baru 14 tahun. Namun dia merasa sudah cukup besar untuk bekerja rumah tangga. Dia bekerja di rumah sebuah keluarga kelas menengah di kota Kupang. Keluarga ini memberikan waktu libur tiap minggu supaya Ristin bisa pulang ke kampung. Tapi tidak setiap akhir pekan dia pulang ke kampung. Ristin terkadang menghabiskan waktu di rumah majikan sehingga dia mulai mengenal dengan tetangga sekitar. Suatu hari Ristin berkenalan dengan seorang buruh bangunan yang bekerja proyek di dekat tempat kerjanya. Awalnya mereka hanya berteman, tapi lama kelamaan mereka pun berpacaran. “Aduh aku senang punya pacar” kata Ristin tersenyum malu. Pada masa itu akhir pekan Ristin menjadi indah. “Aku sama dia dulu sering jalan-jalan kalau libur” katanya. Menurut Ristin majikan tidak tahu kemana dia pergi waktu libur, ketika pacarnya mulai mengajak Ristin menginap di kontrakanbersama dengan pacarnya. “Dia janji mau nikah sama aku kalau sudah punya uang nanti” cerita Ristin sambil tersenyum. “Aku mau saja masak dan melayani semua keperluan dia” katanya. Ketika ditanya apakah juga harus melayani keinginan seks pacarnya, Ristin mengangguk. “Lama-lama jadi biasa” tambahnya sambil menunduk.... Kisah Ristin dengan pacarnya tidak berlangsung lama. Proyek bangunan selesai dan Ristin menemukan kenyataan bahwa pacarnya pergi begitu saja tanpa kabar. “Dia kabur. Aku sudah cari kemana-mana tidak ada” kisahnya. Setelah kepergian sang pacar, Ristin kecewa tapi dia berusaha bersikap biasa saja. Dia terus menjalani hidup sebagai pembantu dengan segala tugasnya. Seperti biasa, Ristin pergi ke pasar untuk berbelanja. Pasar merupakan tempat orang-orang saling bertukar informasi, gossip dan kabar berita. Suatu hari Ristin mendengar kabar tentang Om yang dapat membantu mencarikan pekerjaan dengan gaji besar di Malaysia. Kata orang-orang di pasar, dia petugas lapangan yang mencari calon pekerja untuk PT di Malaysia. Ristin sendiri tidak mengetahui apa itu petugas lapangan. “Om itu katanya bisa bawa aku ke Malaysia tanpa bayaran, hanya potong gaji saja tiap bulan. Katanya gampang saja, karena gaji di Malaysia sudah pasti besar” kisah Ristin. Terpikat dengan tawaran gaji besar dan pekerjaan yang mudah, Ristin pun menemui pekerja lapangan di pasar, dia mungkin akan bertemu dengan bapaknya di Malaysia. Dia pun memutuskan keluar bekerja dan ikut dengan si Om yang telah meyakinkan hatinya. Om pekerja lapangan kemudian membawa Ristin ke sebuah penampungan calon pekerja milik perusahaan penyedia jasa tenaga kerja swasta. Ristin tinggal selama beberapa hari di penampungan untuk pengurusan dokumen karena dia tidak memiliki dokumen apapun. Perusahaan ini lantas membuatkan KTP untuk Ristin, tapi petugas menambah umur Ristin dengan alasan supaya gampang. “Umur aku jadi 21, kak!” kata Ristin. Sejak berada dalam penampungan, Ristin tidak pernah bertemu lagi dengan orang yang membawanya ke sana. Dia diberitahu bahwa pengiriman ke Malaysia sedang tidak ada, maka semua akan dikirim ke Batam. “Tidak apalah dikirim ke Batam karena banyak orang yang bilang kalau Batam kota besar, gampang cari uang dan pergi ke Malaysia bisa juga dari Batam” kata Ristin. “Aku naik pesawat, kak!” Ristin menambahkan sambil tersenyum. Naik pesawat adalah peristiwa bersejarah dalam kehidupan Ristin. Sebelumnya tidak pernah sedikitpun dia membayangkan rasanya menaiki alat transportasi yang malayang-layang di udara. Ada sebuah kebanggaan besar yang dia rasakan ketika menyebutkan kata “naik pesawat”. Tidak semua orang di kampungnya pernah naik pesawat. Alat transportasi ini pun berubah menjadi media untuk menaikkan status sosial bagi seseorang yang hidup dalam ketidakberuntungan. Sesampai di Batam Ristin langsung dibawa ke sebuah penampungan. Ristin tidak mau menceritakan apa yang dia alami selama berada di penampungan. “Penampungan ya seperti itulah, kak!” katanya dan guratan kesedihan mulai tampak di wajahnya. Penjelasan tentang penampungan yang muncul dari mulutnya bahnyalah sebuah tempat dimana orang tidur berdesakan sampai mereka mendapatkan majikan. “Dimarahi sudah biasa, kak!” katanya. Selama di penampungan Ristin tidak diperbolehkan keluar dan tidak ada akses baginya untuk menghubungi sanak keluarga. Segala tindakan Ristin diawasi oleh para penjaga yang berwajah menakutkan. Tidak ada orang yangberani melarikan diri dari penampungan karena pasti ditangkap kembali oleh para penjaga yangmengawasi selama 24 jam. Risti juga mengatakan bahwa mereka yang berada di penampungan harus mau dipekerjakan sebagai apa saja. Ristin tidak terlalu lama tinggal di penampungan karena ada majikan yang datang ke penampungan dan memilihnya. Ristin bekerja selama 3 bulan tanpa pernah keluar dari rumah. Selama bekerja dia tidak mendapatkan gaji karena setiap bulan majikan langsung memberi gaji Ristin ke perusahaan yang merekrut Ristin. Perusahaan ini mengatur dan menyimpankan gaji pekerja selama 9 bulan agar pekerja tidak kabur dan janjinya uang akan diberikan pekerja pada saat pulang. Pada kenyataannya tidak ada uang sepeser pun yang diberikan perusahaan untuk pekerja yang direkrutnya. Setelah 3 bulan bekerja majikan menemukan Ristin sakit dan hampir pingsan. Majikan pun membawa Ristin ke dokter. Dari dokter diketahui bahwa Ristin tidak sakit, tetapi sedang mengandung. Sang majikan yang tidak menghendaki pekerja yang mengandung meninggalkan Ristin di dokter yang selama ini memberikan pelayanan kesehatan bagi klien di shelter Gembala Baik. Menyadari bahwa Ristin adalah “asset” dari perusahaan penyalur tenaga kerja yang cukup terkenal di Batam yang sedang dicari-cari oleh sekelompok preman, para suster Gembala Baik pun menjaga agar dia tidak diketahui keberadaannya. Sejak saat itulah Ristin tinggal di shelter sampai melahirkan anaknya. Usianya yang masih belia membuat Ristin sulit untuk memahami arti menjadi seorang ibu. Ristin tidak mengetahui bahwa dia hamil. Ristin juga tidak merasakan gerak bayi yang ada dalm kandungannya sampai usia kandungannya tujuh bulan. Ristin memperlihatkan penolakan terhadap anaknya sendiri, karena bayi ini hasil hubungannya dengan lelaki pekerja bangunan yang kabur dari Kupang. Contoh lain, ketika bayinya menangis meminta minum, dia malah memarahi bayinya atau membiarkan bayinya terus menangis. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk Ristin melakukan rekonsiliasi dengan diri sendiri, bayinya, serta keluarganya. Setelah melalui proses rekonsiliasi dengan keluarganya, kami pun mengantar Ristin dan bayinya pulang ke kampung halaman dan berjumpa dengan nenek beserta ibunya. Tangis mengharukan pecah dari kedua perempuan tua yang menyambut Ristin. Tetapi Ristin sepertinya belum sepenuhnya paham karena dia masih berkata: “Suster, aku mau ikut bapak ke Malaysia”.

Minggu, 21 Juli 2013


INFO JPIC DARI PALEMBANG, SUMATERA SELATAN
( Dikirimkan Oleh : Sr. Ruth,SSpS - 14 Sept 2012 )
( Oleh : Rm Anton Pram SCJ )

Sekitar 2 minggu yang lalu ada seorang perempuan muda bernama Windy, ditemukan oleh Polisi dalam
keadaan bingung dan stress di simpang lampu merah Tanjung Api-api, Palembang. Dilihat secara fisik
perempuan muda ini berasal dari NTT. Karena sulit untuk diajak bicara maka seorang polisi menghubungi salah seorang penatua kelompok buruh pabrik karet di Gasing, Palembang, kalau-kalau ada yang mengenalinya.
Sejak saat itu polisi menyerahkan Windy ke kelompok dampingan kami para buruh pabrik asal Timtim itu untuk dirawat dan didampingi.
Awalnya Windy masih sulit untuk diajak bicara namun pelan-pelan
akhirnya bisa sedikit terungkap dari mana dia berasal dan bagaimana bisa
sampai Palembang. Ternyata dia berasal dari Kupang, tepatnya dari Eban
(suku Dawan). Dia merantau sekitar satu setengah tahun yang lalu
bersama temannya, Dian, ke Jakarta. Tidak diketahui siapa itu Dian,
apakah benar temannya atau orang yang hanya mau memanfaatkan
dengan menjual tenaga kerja. Menurut kisahnya, sesampai di Bandara
Jakarta Windy terpisah dengan temannya itu karena ketinggalan pesawat.
Lalu ada orang yang prihatin akan keadaannya dan dibawa ke Medan.
Di Medan Windy disuruh bekerja di sebuah Café. Mungkin karena tidak tahan atau kerena ada masalah, dia
kabur dan mau kembali ke kampung di Kupang. Katanya cuma berjalan kaki (??? – dalam kondisi jiwa yang
labil dan stress) dan sampailah ia di Palembang. Yang memprihatinkan lagi adalah bahwa Windy dalam
keadaan hamil 7 bulan. Hari Rabu kemarin Windy sudah kami bawa ke RS Myria KM 7 untuk diperiksa
kehamilan dan kesehatannya, dengan dibantu oleh Sr Lusiana FCh (JPIC Charitas).
Rencananya kami akan membawa Windy ke Griya Nazaret di Podomoro, tempat untuk menampung
perempuan-perempuan yang hamil di luar nikah milik Yayasan Sosial Pansos, Keuskupan Agung Palembang.
Namun ada perkembangan lain untuk dipertimbangkan, yaitu salah seorang teman kami di mess pabrik
sudah memposting berita tentang Windy di jejaring sosial (Facebook) untuk aksi peduli, dan Puji Tuhan,
ternyata ditemukan saudara-saudaranya yang ada di Surabaya dan juga yang bekerja di Hongkong. Namun
kami harus memastikan bahwa mereka itu adalah benar-benar saudara kandung Windy, dan ternyata benar
Windy sediri mengakui mereka adalah kakak-kakak kandungnya. Dalam pembicaraan dengan kakak-kakak
Windy itu, masih dipertimbangkan langkah apa yang mau diambil demi kebaikan Windy dalam kondisi jiwa yang masih labil dan hamil 7 bulan. Kemungkinan besar akan dijemput sendiri oleh kakaknya dari Surabaya untuk dibawa pulang ke Kupang. Namun itu pun belum pasti bahwa mereka bisa segera datang ke Palembang.
Semoga ada jalan terbaik untuk membantu Sdri Windy ini.

COUNTER WOMEN TRAFFICKING COMMISSION - Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia
RANGKUMAN PROSES PENDAMPINGAN DAN PENANGANGAN KORBAN
26
Beberapa hal yang menarik untuk dipelajari dari kasus Windy ini, walaupun belum begitu jelas apa dan
bagaimana penyebab sesungguhnya yang dialami oleh seorang seperti Windy ini.
1. Mungkin saja bahwa yang dikatakan teman Windy itu, Dian,
adalah salah seorang dari jaringan perdangan manusia
(trafficking).
2. Polisi yang menemukan korban orang hilang seperti Windy
ini pun tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu, apalagi
untuk menyelidiki dan mencari orang-orang yang
menyebabkan penderitaan para wanita seperti Windy ini
yang menjadi korban perdagangan manusia.
3. Windy ditampung sementara di mess pabrik oleh beberapa keluarga Timor di Gasing (kelompok
dampingan kami). Walaupun dalam keadaan miskin dan seadanya, teman-teman di mess rela membantu
untuk Windy semampu mereka. Dalam keadaan kekurangan mereka masih mau membantu sesamanya
yang terlantar.
Demikian sekilas info dari JPIC Palembang. Mungkin ada teman-teman Vivat dari Indonesia Timur, khususnya
Kupang, yang mengenal Windy ini.
Obribado
Rm. Pram SCJ
From: indo-leste-bounces@vivatinternational.or.id
To: indo-leste@vivatinternational.or.id
Rm. Pram, trims u share info ini. Sedih dan prihatin mendengar kisah ini. Windy, seorang perempuan perantau
asal NTT menjadi korban human trafficking. JPIC SCJ sudah melakukan sebuah langkah awal untuk
pendampingan korban dan advokasi bagi korban Windy ini dg menghbungi aparat keamanan, keluarga korban
dan support group community di Palembang. Dalam kolaborasi dan jejaring antara anggota VIVAT dan semua
yg peduli kita bisa berbuat sesuatu bagi para korban seperti Windy ini.
Sekali lagi trims u sharingnya dan salut atas respons romo Pram dalam upaya pendampingan korab itu.
Salam ke Palembang,
paul
--------------------------------------- *********-----------------------------------------
Pater Paul dan Pater Robert,
Trims utk tanggapannya. Dalam kasus Windy ini kami tidak bisa berbuat banyak dalam menggali informasi
secara detail karena kondisi jiwanya yang tidak stabil. Misalnya tentang umur, kemarin ditanya umur berapa
dijawab 25 tahun, hari ini dia menjawab 20 tahun. Ditanya, siapakah Dian yang mengajaknya merantau, dia
hanya jawab: teman. Kita sudah sering mendengar keprihatinan seperti ini, bahwa banyak anak-anak kita dari
NTT dikirim sebagai pekerja ke daerah-daerah lain bahkan ke luar negri. Di kota-kota besar di Sumatera
(Palembang, Jambi, Bengkulu, Riau, dll) kadang saya melihat wanita-wanita dari NTT (dari penampilan fisik sdh
nampak orang NTT) menjadi pembantu rumah tangga, bahkan ada yang di bawah umur. Saya tidak tahu lewat
agen mana mereka bisa sampai di Sumatera. Tentu di NTT ada sindikat/jaringannya yang mancari para pekerja
untuk ke luar daerah. Kelompok ini sangat rentan dalam kondisi kerja mereka. Kita berharap bahwa mereka
mendapat tuan yang baik dalam memperlakukan mereka sebagai pekerja.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Pater Robert tentunya menjadi tugas kita untuk melindungi kaum
lemah dan tak berdaya terhadap para sindikat perdagangan manusia dan penyalur tenaga kerja yang illegal.
COUNTER WOMEN TRAFFICKING COMMISSION - Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia
RANGKUMAN PROSES PENDAMPINGAN DAN PENANGANGAN KORBAN
27
Semoga kita nanti setelah bertemu dalam workshop bisa saling mengenal dan membangun jaringan yang
efekstif dari berbagai daerah pelayanan kita masing-masing. Kami di Sumatera belum bisa berbuat banyak
dalam menanggapi kasus-kasus seperti Windy ini, karena memang belum ada tim khusus untuk investigasi dan
advokasi. Semoga saya bisa belajar dari teman-teman VIVAT yang lain dalam membentuk tim advokasi untuk
membantu korban trafficking ini.
Salam dari Palembang.
Rm Pram SCJ
-------------------------------------------------------------------------
Sahabat para buruh dalam peziarahan

Minggu, 06 Januari 2013

PROPOSAL PROYEK PEMBANGUNAN MESS BURUH DAN RUMAH TRANSIT UNTUK BURUH MIGRAN KEUSKUPAN AGUNG PALEMBANG



PROPOSAL PROYEK PEMBANGUNAN
MESS BURUH DAN RUMAH TRANSIT UNTUK BURUH MIGRAN
KEUSKUPAN AGUNG PALEMBANG


1.      Nama Proyek                             : PEMBANGUNAN MESS BURUH
2.      Tanggal Permohonan                  : ………….. 2013
3.      Lokasi Proyek                            : Gasing, Kab. Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan
4.      Sasaran Kegiatan                        : Keluarga-keluarga Buruh Katolik Pabrik Karet PT Bintang
  Gasing Persada
5.      Nama Pemohon                            : Rm Antonius Dwi Pramono SCJ
  Devisi Buruh Migran Keuskupan Agung Palembang
Alamat                                          : Kantor Pansos Bodronoyo, Jl. Kol Atmo, No 52/1114
6.       Penanggungjawab                       : Rm. Rakidi Pr (Pastor Paroki St Stefanus, Talang Betutu)
7.      Panintia Pelaksana                        : Rm. Antonius Dwi Pramono SCJ
8.      Dana yang dimohon                      : Rp.     380.030.000
Swadaya                                       : Rp.     ----
Total Biaya                                    : Rp.     380.030.000

9.      Maksud dan Tujuan Proyek:

Pembangunan mess ini dimaksudkan pertama-tama untuk menampung keluarga-keluarga buruh pabrik PT Bintang Gasing Persada yang belum bisa mengusahakan rumah mereka sendiri. Sebagian besar mereka berasal dari Timor Timur. Sejak Referendum dan Timor Timur menjadi Timor Leste mereka mereka memilih untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia. Sudah sejak awal beroperasinya pabrik karet ini hanya menyediakan fasilitas mess untuk para buruh yang masih bujang atau single di lokasi pabrik, dan tidak menyediakan mess untuk keluarga. Dalam perkembangan akhir-akhir ini sejak awal tahun 2012, ada beberapa buruh migran ini membawa serta anak istrinya ke Palembang. Untuk sementara waktu sampai sekarang ini mereka boleh tinggal di lokasi pabrik dengan menambah kamar sendiri di salah satu bangunan rumah kayu (pondok) yang sudah ada. Tentu kondisi ini sangat memprihatinkan dan tidak layak bagi keluarga-keluarga muda ini dengan anaknya yang masih kacil-kecil. Maka tujuan utama pembangunan mess ini adalah untuk membantu para keluarga buruh pabrik yang belum bisa mengusahakan rumah sendiri.
Tujuan yang lain dari proyek pembangunan mess ini adalah untuk:
1.      Pos/pusat pelayanan dan informasi para buruh migrant perantau Katolik di seluruh Sumsel.
2.      Kantor Sekretariat Paguyuban buruh migrant perantau Katolik
3.      Tempat untuk shelter atau penampungan sementara (transit) mereka yang dari daerah-daerah yang mau pindah kerja atau pergi-pulang kampung.
4.      Di lokasi mess yang akan dibangun ini juga nantinya dapat didirikan gedung serba guna yang sederhana untuk tempat berkumpul dan beribadah.

10.  Uraian Proyek                               :

Pembangunan mess untuk keluarga-keluarga buruh migrant ini akan didirikan di atas tanah milik Bapak Abraham, seorang karyawan senior ketua kelompok buruh migran dari Timtim. Tanah seluas 50m x 100m ini letaknya dekat lokasi pabrik PT Bintang Gasing Persada. Tanah ini adalah tanah hibah/pemberian PT kepada Bapak Abraham yang tidak akan digunakan dalam jangka panjang yang tidak tentu. Bangunan mess yang akan didirikan itu nantinya manjadi milik Devisi Buruh Migran Perantau Keuskupan Agung Palembang, dan karena berada dalam wilayah Paroki St. Stefanus, Talang Betutu, maka untuk penggunaan dan pemeliharaan bangunan mess ini menjadi tanggung jawab Pastor Paroki setempat.

11.  Lembaga Pelaksana Proyek          : Devisi Buruh Migran Perantau Keuskupan Agung
                                                      Palembang.

12.  Cara-cara dan langkah Proyek     : Langkah pertama adalah mengadakan konsolidasi dengan
berbagai pihak yang terkait, baik dalam paguyuban kelompok Timor sendiri, maupun juga dengan pihak pabrik dan  pemilik tanah lokasi. Kedua, membuat rancang bangun dan biaya pembangunan. Ketiga, pencarian dana dari donator, dan keempat, pelaksanaan proyek.

13.  Ancaman/kendala                         : Ancaman/kendala yang mungkin terjadi adalah kondisi
yang tidak sehat dan sulit bagi keluarga untuk tinggal di satu kamar kecil ukuran 2x3 meter saja. Manusia batapa pun miskin dan hina tetap mempunyai martabat dan hak untuk hidup layak. Apabila hasil kerja kerasnya belum bisa untuk untuk memenuhi standar hidup yang layak, sungguh pantaslah mereka dibantu untuk mencapainya.  Kita tidak bisa menuntut pihak PT untuk menyediakan mess untuk keluarga-keluarga buruh ini, karena buruh-buruh lain keluarganya juga tinggal di rumah mereka masing-masing.

14.  Indikator keberhasilan                  : Semakin banyak keluarga-keluarga buruh migrant yang
terbantu bisa hidup layak dan merencanakan masa depan keluarganya dengan lebih baik.
15.  Lampiran-lampiran

1.      Gambar Denah rencana bangunan mess
2.      Rincian Anggaran Pembangunan
3.      Foto-foto kondisi tempat tinggal keluarga-keluarga buruh yang sekarang

16.  Pengiriman Dana Sumbangan
1.      Yayasan Sosial Pansos
2.      Penanggung Jawab Proyek
3.      dll



                                                                                          Palembang, 1  Maret  2012
Menyetujui                                                                               Pemohon


Rm. Bonifasius Djuana Pr                                                       Rm. Antonius Dwi Pramono SCJ
        Direktur Yayasan                                                                        Pelaksana Devisi Buruh Migran








Latar Belakang Pastoral Pendampingan
Untuk Buruh Migran Perantau

Berdasarkan mandat dari Bapak Uskup Agung Palembang, Mgr. Aloysius Sudarso SCJ, dan tugas perutusan dari Pater Propinsial SCJ, Rm. Andreas Madya Sriyanto SCJ, kami mendapat tugas untuk memperhatikan dan mendampingi secara pastoral para buruh migran perantau yang ada di wilayah Keuskupan Agung Palembang pada khususnya. Tugas ini dimulai sejak bulan September 2011, yaitu dengan mulai mencari kelompok sasaran pendampingan, sambil menyusun rencana pastoral pendampingan para buruh migran untuk tahun 2012.

Berdasarkan informasi yang didapat dari beberapa sumber kami sudah menjumpai beberapa kelompok buruh migrant. Mereka sebagian besar adalah orang-orang eks pengungsi Timtim yang memilih pro Indonesia, mereka berasal dari daerah pengungsian di wilayah Kupang dan Atambua.  Mereka semua adalah umat Katolik yang secara geografis pelayanan pastoral dilayani oleh Paroki St. Stefanus, Talang Betutu. Kelompok-kelompok yang sudah mendapat pendampingan pastoral adalah: Buruh migran di Pabrik Karet PT Bintang Gasing Persada di Gasing dan sekitarnya (93 orang), buruh migran di perkebunan sawit PT Perkindo Makmur di Gasing laut (25 orang), dan buruh migrant di perkebunan sawit PT Wanna Potensi Guna di Sekayu, Musi Banyuasin (120 orang). Sebenarnya masih banyak lagi buruh katolik migran asal Timor ini yang tersebar di wilayah Sumatera Selatan dan sekitarnya. Berapa banyak jumlah mereka di seluruh Sumatera Selatan dan di tiap kelompok kerja memang bisa didata, namun karena sering terjadi perpindahan tempat kerja maka jumlah itu sering tidak pasti.

Sebagian besar para buruh migran asal Timor ini bekerja di perkebunan sawit dan pabrik karet atau sawit. Mereka sebagai buruh migran tinggal di komplek di mess-mess yang disediakan oleh PT dimana bekerja. Situasi dan kondisi yang mereka alami di mess tentunya apa adanya, ada yang sudah berkeluraga dan punya anak, ada juga yang masih bujang. Masa depan mereka tidak menentu, dengan kata lain mereka tidak tahu akan tinggal menetap di mana di masa yang akan datang. Banyak alasan yang membuat mereka tidak tahu akan nasib mereka di masa yang akan datang, ada yang memang hanya untuk mencari nafkah di perantauan dengan harapan bisa membantu keluarga di Timor dan nantinya akan kembali ke Timor. Ada juga dari mereka yang memang mencari kehidupan baru di perantauan, dengan kata lain mereka tidak mungkin lagi untuk kembali ke Timor atau Timor Leste.

Setelah beberapa bulan kami mendampingi mereka, yaitu dengan kunjungan, pembinaan, dan juga merasakan tinggal di mess bersama mereka, kami sadar bahwa kami tidak bisa berbuat banyak untuk menjamin kehidupan masa depan mereka selain mendampingi dan membina mereka supaya dapat menyiapkan diri mereka sendiri mulai sekarang untuk masa depan mereka. Program-program pendampingan yang sudah kami buat lebih pada pembinaan dan penyadaran, baik di bidang iman katolik, etos kerja, sosial kemasyarakatan, dan juga perencanaan ekonomi keluarga. Sebenarnya banyak hal yang bisa dibuat bila pastoral ini melibatkan suatu tim kerja, sehingga bisa membantu para buruh dampingan dalam memperjuangkan nasib mereka sebagai buruh harian, dan lain-lain.

Pastoral ini baru merupakan penjajagan saja yang sudah berlangsung selama kurang lebih satu tahun. Saya percaya bahwa untuk bisa menjangkau pelayanan yang lebih luas dan efektif bagi para buruh migrant di Sumbagsel ini diperlukan suatu Team atau Komisi yang mantab. Dengan adanya Team atau Komisi maka banyak hal bisa disediakan, baik itu personalia yang cukup, sarana dan prasarananya.  Saya yakin bahwa buruh migrant Katolik di wilayah Sumsel ini cukup banyak, mungkin ada ratusan orang tersebar di banyak lokasi perkebunan sawit dan pabrik.
Akhir kata, melalui proposal ini sebenarnya kami mengajak banyak pihak untuk mulai peduli terhadap nasib para buruh migran asal Timor ini, bukan maksudnya untuk memanjakan mereka dengan dengan sarana-sarana pembinaan yang ada, namun semata-mata untuk memberi semangat dan harapan untuk masa depan mereka. Mereka adalah para pekerja keras di rantau orang, mau bekerja kasar menjadi buruh di pabrik atau perkebunan demi kelangsungan hidup mereka. Dan yang penting juga adalah mereka sebagai orang-orang Katolik yang berasal dari tradisi dan daerah mayoritas katolik kini harus mengalami hidup di masyarakat mejemuk, kiranya mempinyai tantangan tersendiri bagi iman mereka, khususnya mereka yang masih muda/bujangan. Kita berharap bahwa jangan sampai mereka terseret oleh arus pergaulan bebas dengan orang-orang beragama lain dan akhirnya dengan mudah juga meninggalkan iman katoliknya. Semoga mereka semua yang mempunyai latar belakang kelam akibat konflik dan kekerasan pada peristiwa Timor-timur justru dapat membangun diri sebagai komunitas keadilan dan perdamaian di tengah masyarakat.



Palembang, 1  Maret  2012

Petugas Pastoral Buruh Migran




Rm. Antonius Dwi Pramono SCJ

Ekopastoral di Keuskupan Agung Palembang


MARI KITA BER-EKOPASTORAL
Suatu ajakan KWI untuk melibatkan diri dalam melestarikan lingkungan hidup.

Pengantar.
Pada pertengahan bulan Oktober yang lalu saya mendapat pesan dari Kuria Keuskupan, apakah bisa saya bisa mewakili Keuskupal Agung Palembang untuk mengikuti Hari Studi dalam Sidang Sinodal KWI di Jakarta? Dengan beberapa pertimbangan akhirnya saya mengatakan bahwa saya bisa hadir. Dalam hati kecil saya bertanya-tanya apa kapasitas saya sehingga saya dipercaya untuk mewakil pertemuan penting ini. Dengan semangat ketaatan iman saya hadir dalam Hari Studi Sidang KWI itu dan saya percaya bahwa saya bisa menyumbangkan hal yang berguna dari pertemuan itu bagi umat Keuskupan Agung Palembang.

Sidang KWI tentang Ekopastoral
Sidang Sinodal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada tahun ini yang dilaksanakan pada tanggal 5 -15 November, mau menegaskan kembali komitmen Gereja Katolik untuk terlibat dan bertanggung jawab dalam menyelamatkan lingkungan hidup. Sidang KWI diawali dengan hari studi selama 3 hari dengan tema KETERLIBATAN GEREJA DALAM MELESTARIKAN KEUTUHAN CIPTAAN. Proses seluruh hari studi ini cukup dinamis dan dialogis. Pada Pembukaan Sidang disampaikan beberapa sambutan dari Katua KWI, Dirjen Bimas Katolik, Wakil dari PGI dan Nuncio. Pada intinya semua mengungkapkan harapan-harapannya agar Sidang dapat memberi perspektif baru pada masalah lingkungan hidup. Setelah itu Sidang mendengarkan pengantar hari studi dari Ketua KKP-PMP (Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastorral Migran Perantau), kemudian disampaikan juga masukan-masukan dari para nara sumber. Selanjutnya proses Sidang diisi dengan tiga kali sharing/diskusi kelompok dan pleno yang membahas tentang akar masalah pengrusakan lingkungan dan usaha-usaha Gereja lokal dalam ikut serta mencegah dan menyelamatkan lingkungan hidup di masing-masing wilayah regio gerejani. Pada akhir Hari Studi tersebut tim Panitia berhasil merumuskan suatu draft yang nantinya akan digodog lebih lanjut oleh para Uskup dalam Sidang selanjutnya menjadi seruan bersama dalam bentuk Pesan Pastoral. Pesan Pastoral yang bertema ‘Lingkungan’ ini tersebut ditandatangani oleh Mgr. Ignatius Suharyo sebagai Ketua Presidium KWI yang baru, dan Mgr. Johannes Pujasumarta sebagai Sekjen KWI.

Apa itu Ekopastoral?
Bila ditanya apa itu ekopastoral dan bagaimana persisnya bentuk pastoral itu? Mungkin saya pun tidak bisa langsung menjawab. Saya tahu apa itu “ekologi”, saya tahu apa itu “pastoral”, namun tidak bisa langsung menjelaskan seperti apa konkritnya ekopastoral itu, karena saya bukan atau belum menjadi seorang pakar lingkungan hidup. Mungkin saya juga perlu bertobat seperti Anda untuk semakin mencintai lingkungan hidup dan menjadi aktivis/penggerak dalam melestarikan keutuhan ciptaan. Ada satu artikel dalam Majalah Mingguan HIDUP yang ditulis oleh St. Ferry Sutrisna Wijaya Pr, “Kalau ditanya ‘kapan bertobat?’, saya sering mengatakan bahwa saya bertobat ketika dibaptis, masuk seminari, masuk dunia pendidikan nilai, dan saat ikut gerakan lingkungan hidup. Dengan rangkaian pertobatan itu, saya semakin ingin menjadi imam yang bergerak dalam bidang pendidikan nilai dan pendidikan lingkungan hidup”.
Dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja (dikeluarkan oleh Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian) terdapat referensi ajaran Gereja tentang lingkungan hidup. Dalam satu bab khusus (Bab 10) yang berjudul “Melindungi dan Melestarikan Lingkungan Hidup”, di sana dibahas berbagai hal mulai dari segi alkitabiah, krisis relasi manusia dengan lingkungan hidup, hukum, peran lembaga riset dan politisi, sektor informasi, aspek demografi, masalah air, sampai pada gaya hidup.
Apa saja yang menjadi lingkup kegiatan dalam gerakan ekopastoral?  Romo Dr. B. Herry Priyono SJ, sebagai anggota tim SC hari studi Sidang KWI, memberi masukan yang berguna kepada kita. Pertama, mulai dengan hal yang sederhana tapi yang sering diabaikan, yaitu kondisi lingkungan alam di sekitar kita, misalnya dengan penghijauan, perawatan flora dan fauna, memnjaga kualitas air, tanah dan udara, dll.  Kedua, pemihakan pada kelompok-kelompok yang paling dekat dengan sumber daya alam yang juga sering diabaikan, yaitu para petani, bidang pertanian, peternakan dan produsen ketahanan pangan. Kelompok ini sering menjadi korban manipulasi cukong-cukong besar, dan akhirnya demi mengejar target sampai melalaikan kelestarian alam. Ketiga, gerakan ekopastoral juga menuntut pembukaan diri kita pada kerjasama dengan berbagai pihak yang berkehendak baik dari pihak-pihak lain, misalnya dengan agama atau kelompok pecinta lingkungan lain. Keempat, gerakan ekopastoral juga perlu dimasukkan dalam penggarapan di bidang liturgi dan katekese umat, dengan demikian dapat membawa umat pada keterlibatan pada perbaikan dan pembangunan keutuhan ciptaan dan ekosistem.
Dengan berbagai usaha di atas kiranya gerakan ekopastoral menjadi suatu undangan dan panggilan untuk membentuk habitus baru, yaitu perubahan cara merasa, cara berpikir dan cara bertindak untuk memperjuangkan cita-cita injili dan melestarikan keutuhan ciptaan. Itulah perjuangan bagi ‘kebaikan bersama’ (bonum commune) yang dalam jaman ini berupa gerakan untuk memperbaiki kehancuran ekosistem alam dan kehidupan kita serta anak-cucu kita.

Gereja ikut prihatin akan Kerusakan Lingkungan Hidup
Pesan adalah suatu amanah, dan amanah itu harus dilaksanakan. Itulah yang diharapkan oleh si pemberi pesan. Kita percaya bahwa para Uskup adalah penerus para Rasul yang menerima langsung tugas perutusan dari Tuhan kita, Yesus Kristus. Apa yang disampaikan dalam pesan pastoral KWI kali ini adalah hal sangat dekat kehidupan kita, maka hendaklah kita laksanakan dan wujudkan dalam tindakan konkrit untuk ikut serta melestarikan alam ciptaan sebagai gerakan bersama di Keuskupan kita ini.
Seperti apakah wajah bumi kita yag kita didiami ini? Para Uskup menyampaikan keprihatinan yang mendalam akan kondisi lingkungan hidup kita sebagai berikut: “..... kenyataannya, lingkungan yang adalah anugerah Allah itu,  dieksploitasi oleh manusia secara serakah dan ceroboh serta tidak memperhitungan kebaikan bersama, misalnya penebangan hutan, pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan yang kurang bertanggung jawab.  Lingkungan menjadi rusak, terjadi bencana alam, lahir konflik sosial, akses pada sumber daya alam hilang dan terjadi marginalisasi masyarakat lokal/adat, perempuan dan anak-anak. Keadaan itu diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada kepentingan politik sesaat dan pola pikir jangka pendek yang mengabaikan keadilan lingkungan. Akibatnya antara lain pemanasan bumi, bertumpuknya sampah, pencemaran air tanah, laut, udara serta tanah, pengurasan sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan dalam skala besar”.
Suatu gerakan bersama
Kita semua sudah merasakan dampak dari kerusakan lingkungan di Sumatera bagian Selatan ini, perubahan iklim yang tidak menentu mengakibatkan bencana alam dimana-mana. Sudah banyak orang yang menyadari hal ini dan membuat gerakan-gerakan pelestarian lingkungan hidup, namun lebih banyak lagi orang yang belum menyadarinya dan terus menerus merusak lingkungan dengan sikap dan gaya hidup yang tidak ramah lingkungan. Kita sebagai umat Katolik di Keuskupan Agung Palembang ini termasuk yang mana dari dua golongan tadi? Berdasarkan Pesan Pastoral para Uskup tentang Keterlibatan Gereja melestarikan keutuhan ciptaan ini sudah saatnya umat KAPal membuat gerakan bersama untuk menyelamatkan bumi ini dari kehancuran. Kiranya sudah banyak orang atau umat Katolik yang terlibat dalam usaha pelestarian lingkungan hidup baik secara pribadi maupun kelompok, namun akan menjadi lebih terasa dampaknya apabila menjadi gerakan bersama di seluruh wilayah Keuskupan Agung Palembang ini.  Bersama orang-orang lain yang berkehendak baik kita mau ikut serta dalam penyelamatan bumi ini. Sudah saatnya kita menggiatkan suatu pastoral umat yang dapat menggerakkan kepedulian umat terhadap lingkungan ekologi hidup kita, yaitu ekopastoral, seperti dicanangkan Pesan Pastoral KWI 2012 ini.
Dari mana kita bisa memulai gerakan bersama ini? Menurut saya, untuk bisa bergerak orang harus sadar dulu bahwa memang perlu bergerak, misalnya: ada orang mulai sadar bahwa sampah menjadi salah satu sebab dari pemanasan global, lalu orang itu mulai membiasakan diri di rumahnya dan juga di tempat-tempat umum untuk memilah-milah sampah berdasarkan jenisnya, dan seterusnya. Maka pertama-tama perlu penyadaran untuk seluruh umat akan bahaya pemanasan global akibat dari bermacam-macam pencemaran lingkungan karena ulah manusia sendiri. Sebenarnya sudah banyak slogan-slogan dan animasi yang bisa kita jumpai baik di media cetak maupun elektronik, dan juga sudah banyak kolompok masyarakat peduli lingkungan yang bisa kita contoh program kegiatannya.
         
Masih banyak kegiatan lain sebagai tindakan bersama untuk menyelamatkan bumi yang kita cintai ini. Gereja Katolik sebagai organisasi terbesar di dunia sesungguhnya bisa menjadi kekuatan yang nyata untuk mengubah dunia, namun sayangnya  bahwa terkadang hanya bisa memperdengarkan suaranya yang keras saja, misalnya seperti pesan bapak Paus, pesan para Uskup, seruan Gereja, dan lain-lain. Gereja selalu bersuara untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian, kepedulian terhadap masalah-masalah sosial, kesetaraan gender, dan lain-lain, namun Gereja tidak bisa berbuat banyak bila melihat banyaknya demonstrasi para buruh yang menuntut upah adil dan layak.

Mari kita mulai
Sekedar suatu pemikiran untuk gerakan bersama di Keuskupan kita ini dalam menanggapi Pesan Para Uskup tentang Ekopastoral, bahwa perlulah dibentuk suatu team sebagai penggerak utama pastoral ekologi ini. Team ekopastoral ini bertugas untuk merencanakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan gerakan peduli lingkungan hidup. Ada cukup banyak kelompok umat yang bisa digerakkan mulai dari lingkungan-lingkungan, stasi, paroki; bahkan sampai pada kelompok-kelompok katergorial yag ada di Keuskupan kita, misalnya: mulai dari kelompok anak-anak Sekolah Bina Iman, Orang Muda Katolik, sekolah-sekolah Katolik, rumah-rumah biara dengan berbagai karya kerasulannya.
Wacana yang biasa dipakai untuk memulai gerakan bersama dalam Gereja ini adalah pada kesempatan Aksi Puasa Pembangunan, karena dalam APP ini selalu ada proses penyadaran akan situasi konkrit, refleksi dari Kitab Suci atas situasi konkrit itu, membangun niat dan pertobatan, dan akhirnya ada rencana kegiatan konkrit untuk mewujudkan pertobatan tersebut. Saya yakin bahwa pada kesempatan APP yang membahas tentang lingkungan hidup ini akan terus berlanjut dan menjadi kegiatan tetap di Keuskupan kita. Mengapa? Karena sebelumnya sudah dibentuk team ekopastoral, yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang mempunyai kepedulian terhadap pelestarian lingkungan hidup. Team ekopastoral inilah yang nantinya diharapkan bisa mempersiapkan bahan-bahan pertemuan APP bersama dengan Komisi PSE dan Komisi Kateketik Keuskupan. Bahan pertemuan APP dapat dikemas secara menarik dan informatif, antara lain tentang bahaya pemanasan global, baik sebab maupun akibatnya, contoh-contoh kegiatan dalam mengurangi atau memperlambat pemanasan global, dan tentunya sambil direfleksikan dalam terang Sabda Tuhan berdasarkan Kitab Suci.
Kalau kita melihat kegiatan-kegiatan umat sekitar masa pra-paskah dalam mendalami bahan-bahan APP, biasanya hanya berhenti sebatas permenungan dan refleksi hidup beriman berdasarkan Kitab Suci, kemudian ada perwujudan nyata dalam bentuk pengumpulan dana sebagai hasil dari puasa pertobatan. Dengan adanya team ekopastoral ini diharapkan dapat menggugah banyak umat untuk terlibat dalam usaha penyelamatan bumi dari kerusakannya, yaitu dengan membuat kegiatan-kegiatan peduli lingkungan secara berkelanjutan. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan dalam ekopastoral ini, diantaranya: kampanye dan animasi go green, seminar dan pelatihan untuk pengolahan sampah menjadi sesuatu yang berguna, penanaman pohon, bank sampah, gerakan hemat energi, dan lain-lain. Gerakan umat yang dimotori oleh team ekopastoral ini bahkan bisa sampai pada kegiatan advokasi untuk menolak kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro lingkungan hidup, misalnya: tolak tambang, perambahan hutan untuk areal perkebunan, pembakaran lahan yang dapat menyebabkan polusi udara, dll.
Saya memimpikan Gereja Katolik Indonesia menjadi pelopor dan penggerak lingkungan hidup dimana umat hadir sebagai anggota masyarakat. Maka ambilah dan bacalah lagi Pesan Pastoral para gembala kita tentang ekopastoral, apakah itu cukup menggerakkan hati kita untuk membangun pertobatan ekologis. Kita harus bergerak bersama dalam semua jalur untuk ikut menyelamatkan bumi ini dan memelihara keutuhan ciptaan. Ekopastoral atau pastoral merawat bumi menuju keutuhan ciptaan ciptaan adalah tanggung jawab kita.

Palembang, 1 Desember 2012.

(Rm Ant. Dwi Pramono SCJ)

PASTORAL BURUH MIGRAN PERANTAU DI KEUSKUPAN AGUNG PALEMBANG


LAPORAN PASTORAL BURUH MIGRAN PERANTAU 2012
KEUSKUPAN AGUNG PALEMBANG


I.                    PASTORAL BURUH MIGRAN PERANTAU

Pastoral Buruh Migran Perantau ini memang masih sangat asing dan jarang terdengar di kalangan umat Gereja Katolik. Pastoral adalah segala bentuk pelayanan iman yang dilakukan oleh dan di dalam Gereja untuk mengembangkan iman dan kehidupan umat beriman. Yang menjadi dasar dan pusat pelayanan segala pelayanan pastoral dalam Gereja adalah Yesus Kristus, Putera Allah, yang ingin menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Sama seperti Kristus datang ke dunia ini bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani, begitu pula dengan kehadiran Gereja sebagai Sakramen Kristus bagi orang-orang yang miskin, menderita, tertindas dan terlupakan.

Buruh Migran Perantau adalah istilah yang sudah dipakai oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian dalam Gereja Lokal di Indonesia untuk member perhatian kepada umat atau masyarakat yang hidupnya masih belum mapan hidupnya baik secara ekonomis maupun sosial. Secara resmi Komisi ini diberi nama Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KPPMP). Mereka yang masih harus berpindah-pindah untuk mencari kehidupan yang lebih baik dengan menjadi pekerja atau buruh di daerah perantauan, entah sebagai individu perorangan maupun sebagai keluarga.

Komisi KP-PMP KWI belum lama ini mengadakan Rapat Pleno di Lembang, Bandung, pada tanggal  16-20 September 2011, dan membuahkan Arah Dasar Komisi KP-PMP untuk tahun 2011-2014. Keuskupan Agung Palembang  tidak mengirim utusan ke Rapat Pleno itu karena memang belum ada Komisi KP-PMP.
Salah satu ajakan/rekomendasi hasil Rapat Pleno di Lembang itu adalah: agar para Uskup dapat memberikan perhatian khusus pada masalah-masalah lingkungan hidup, perdagangan manusia, dan kekerasan serta membentuk Komisi KP-PMP Keuskupan. Seberapa perlu Keuskupan Agung Palembang membentuk Komisi KP-PMP ini? Seberapa mendesak di Keuskupan kita ini untuk mulai memberi perhatian pada para migran perantau? Mungkin juga pertanyaan ini belum terlalu mendesak untuk dijawab oleh Keuskupan Agung Palembang sendiri, atau mungkin belum ada orang-orang yang pas untuk menangani Komisi KPPMP ini.


II.                  KELOMPOK DAMPINGAN PASTORAL BURUH MIGRAN PERANTAU

Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang menjadi subyek dampingan dari Pastoral Buruh Migran Perantau di Keuskupan Palembang ini? Berdasarkan informasi yang didapat dari pastor paroki St Stefanus, Talang bututu, bahwa ada beberapa kelompok umat di wilayah pelayanan Paroki St. Stefanus yang tinggal di mess-mess pemukiman di perkebunan sawit dan juga komplek pabrik. Mayoritas dari mereka adalah orang Timor-Timur atau yang biasa dikenal dengan sebutan Eks Pengungsi Timtim yang yang memilih integrasi dengan NKRI pasca jejak pendapat/referendum Timor Timur. Mereka pada umumnya berasal dari daerah pengungsian wilayah Atambua dan Kupang. Mengapa akhirnya dipilih kelompok ini untuk menjadi perhatian bagi Pastoral Buruh Migran Perantau ini? Ada beberapa alasan yang dapat disampaikan pada kesempatan ini.
1.       Yang pertama, mereka adalah umat Katolik migran perantau yang sudah mendapat pelayanan pastoral dari paroki, sehingga mudah untuk berkumpul dan diadakan pembinaan serta pendampingan.
2.       Mereka termasuk kelompok marginal dalam kehidupan sosial masyarakat Sumatera Selatan, yaitu sebagai buruh, sebagai perantau, tidak mempunyai tanah tempat tinggal tetap, dan juga sebagai kelompok minoritas dalam hal suku dan agama.
3.       Sebagai orang Timor Timur mereka mempunyai sejarah panjang yang suram karena penjajahan, dari jaman penjajahan Portugis sampai jaman kesatuan dengan NKRI, hingga pecahnya peristiwa pergolakan Timtim tahun 1999. Ribuan orang Timor yang pro-integrasi mengungsi ke wilayah Indonesia lewat perbatasan Timor Barat.

Jumlah umat Katolik eks pengungsi Timtim di Sumatera bagian Selatan ini cukup banyak. Awalnya sekitar setelah tahun 2000 PT Citra Futura (dikenal dengan sebutan CIFU) yang mempunyai ribuan hektar kebun sawit di daerah Muara Enim mulai mendatangkan ratusan para pekerja dari daerah pengungsian eks Timtim di Kupang, Atambua dan sekitarnya. Setelah periode itu mulai berdatangan kolompok-kelompok lain dari Timor untuk bekerja di perkebunan-perkebunan sawit maupun pabrik di Sumsel dan sekitarnya. Kehidupan para pengungsi eks Timtim di daerah Timor Barat itu (wilayah Kupang dan Atambua) masih memprihatinkan hingga sekarang seperti diberitakan di berbagai media. Oleh karena kurangnya lapangan pekerjaan dan lahan pertanian maka banyak orang yang menganggur. Kondisi kemiskinan macam ini tentunya bisa mengakibatkan beramacam-macam masalah sosial, misalnya: meningkatnya kasus-kasus kejahatan, rawan pangan, gizi buruk, anak-anak putus sekolah, dll. Bagi orang yang mau bekerja mereka harus merantau ke daerah-daerah lanin yang lebih menjanjikan, maka tak jarang pula mereka dimanfaatkan oleh makelar pencari pekerja untuk mendapatkan uang dengan menjual tenaga kerja murah, misalnya TKI di luar negeri. Tidak tertutup kemungkinan juga mereka menjadi sasaran sindikat perdagangan manusia (trafficking).

Belum ada data yang pasti tentang berapa jumlah orang-orang eks Timtim yang merantau dan tinggal di wilayah Sumatera bagian Selatan, karena memang tersebar di perkebunan-perkebunan sawit, entah dalam kelompok yang besar maupun kelompok lebih kecil. Ada 3 kelompok umat Katolik Buruh Migran yang sudah rutin dikunjungi dan didampingi:
1.       Kelompok pertama adalah para buruh di pabrik karet PT Bintang Gasing Pesada
  
Ø  Lokasi: Gasing, Jln. Tanjung Api-api, KM 10. Jaraknya sekitar 23 Km dari kota Pusat Kota Palembang.
Ø  Jumlah: 110 orang (*data terlampir), kebanyakan masih bujang (82 orang), dan beberapa sudah berkeluarga.
Ø  Tempat tinggal: untuk yang bujang tinggal di mess dan untuk yang sudah berkeluarga tinggal di satu pondok di dalam komplek pabrik juga. Kondisi pondok yang ditempati oleh keluarga-keluarga ini masih darurat, karena tidak ada fasilitas tempat tinggal untuk yang sudah berkeluarga.

2.       Kelompok kedua adalah buruh panen sawit perkebunan milik PT Perkindo Makmur

Ø  Lokasi: Gasing Laut, Jln. Tanjung Api-api. KM 13. Jaraknya sekitar 30 Km dari Pusat Kota Palembang. Disebut Gasing Laut karena terletak di daerah sungai-sungai yang bermuara ke laut, dan untuk mencapai lokasi perkebunannya harus menyeberang sungai.
Ø  Jumlah: seluruhnya ada 23 orang sudah termasuk suami dan istri. (*data terlampir).
Ø  Tempat tinggal: tinggal di mess milik PT tersebar di dua Devisi. Pada umumnya kondisi mess di perkebunan sawit bentuknya sudah seperti rumah kontrakan, jadi sudah cukup untuk ukuran keluarga.
3.       Kelompok ketiga adalah buruh panen sawit perkebunan milik PT Wanna Potensi Guna

Ø  Lokasi: di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Lokasi perkebunan ini cukup jauh, jaraknya  sekitar 220 Km dari Palembang, sudah termasuk akses jalan tanah masuk ke areal perkebunan sekitar 15 Km.
Ø   Jumlah: kurang lebih sekitar 150 orang, sudah termasuk anggota keluarganya (istri dan anak). Sebagian besar mereka sudah berkeluarga
Ø  Tempat tinggal: tinggal di mess milik PT tersebar di 6 Devisi. Jarak antar Devisi cukup jauh, sekitar 6 – 7 Km.


III.                KONDISI KEHIDUPAN PARA BURUH MIGRAN PERANTAU

A.      Kondisi Sosial Ekonomi.

Kehidupan para buruh pabrik atau buruh panen sawit dari dahulu hingga sekarang pada umumnya masih sama saja kondisinya, apalagi mereka sebagai perantau yang tidak memiliki tanah atau tempat tinggal sendiri. Mereka yang datang marantau sudah sejak lama beberapa tahun lalu masih sama kehidupan ekonominya dengan mereka yang baru saja datang marantau. Mereka tinggal di mess yang sama, menerima upah yang sama, dan sama-sama tidak mempunyai jaminan kesejahteraan untuk keluarga mereka. Mengapa demikian? Tentunya banyak faktor yang menyebabkan mereka sulit untuk berkembang.
1.       Faktor pertama adalah dari pihak PT atau penyedia pekerjaan, yaitu: upah rendah dan tidak ada jaminan sosial dan kesehatan, dll
2.       Faktor kedua adalah dari pihak buruh sendiri, yaitu: karena pendidikan yang rendah mereka sulit sekali untuk diajak maju, sulit untuk mengatur ekonomi rumah tangga, dan sulit untuk diajak menabung untuk mesa depan.
3.       Faktor lain adalah kondisi alam dan geografis yang sulit, yaitu: pada umumnya lokasi kerja dan tempat tinggal mereja jauh dari akses layanan publik (jalan raya, transportasi, pasar, sekolah, puskesmas/rumah sakit, bank, dll).

B.      Kondisi Sosial Kemasyarakatan.

Sebagai perantau tentunya mereka tidak mempunya pekerjaan dan tempat tinggal yang tetap, mereka tinggal di mess pabrik atau di perkebunan sawit. Maka hidup kemasyarakatan dan pergaulan mereka pada umumnya terbatas pada lingkungan kerja. Beberapa hal yang menjadi kekhasan dan tantangan hidup mereka sebagai orang Timor di perantauan, yaitu:
1.       Orang Timor adalah orang yang dipandang sebagai masyarakat pendatang atau perantau. Secara fisik memang tampak sebagai orang dari daerah timur; bahasa, agama dan adat-kebiasaan pun berbeda dengan warga lokal.
2.       Banyak yang belum punya KTP setempat (KTP lama dari NTT sdh habis), banyak keluarga yang tidak punya Surat Catatan Sipil (karena nikah adat). Untuk mengurus KTP pun ada biasanya ada kesulitan.
3.       Ada beberapa orang Timor yang menikah dengan wanita setempat (jawa, sunda, sumatera), ada yang ikut suami tinggal di mess perkebunan, dan ada pula yang ikut keluarga istri.

Maka dalam banyak hal dalam kehidupan masyarakat orang-orang Timor dianggap maklum: maklum orang Timor, maklum orang kristen, maklum orang perantau, dll. Namun demikian masyarakat lingkungan kerja pada umumnya dapat menerima kehadiran orang-orang Timor perantau, karena sikap toleransi yang baik, mau bekerja keras, suka membantu, dll.

C.      Kondisi Sosial Religius/keagamaan

Ketiga kelompok buruh migran perantau yang sudah rutin didampingi itu termasuk dalam wilayah pelayanan Paroki St Stefanus, Talang Betutu, Palembang. Masing-masing kelompok sudah mendapat pelayanan misa dari paroki satu bulan sekali sebelum seperti stasi-stasi yang lainnya di wilayah paroki. Ada beberapa hal yang menjadi kekhasan mereka sebagai umat Katolik:
1.       Mereka adalah umat perantau yang bisa sewaktu-waktu pindah. Kelompok ini tidak sepenuh bisa disebut stasi, karena tidak ada struktur kepengurusan stasi seperti pada umumnya. Pendataan/statistik umat paroki untuk kelompok ini pun bersifat sementara, karena sering terjadi perpindahan.
2.       Pada umumnya orang-orang Timor beragama Katolik, paling tidak pengakuan pribadinya bahwa ia adalah Katolik. Hal ini nampak dalam pengungkapan sikap imannya, missal: sangat menghormati para imam dan biarawan-biarawati, sangat percaya akan kekuatan rohani dari benda-benda devosionalia (salib, Rosario atau kontas, patung Tuhan Yesus, Bunda Maria dan para Malaikat Agung), tahu dan sadar akan ketidak-layakan pribadi dalam menyambut komuni.
3.       Dalam kehidupan menggereja sangatlah pasif dan minim. Dalam kelompok ini tidak ada kegiatan-kegiatan iman bersama, misalnya: sembahyangan rutin, pendalaman iman, mudika, bina iman anak, kegiatan wanita katolik, dll.
4.       Banyak keluarga yang belum diberkati dalam Gereja. Pada umumnya mereka menyebut dengan “nikah adat”. Sejauh mana status perkawinan mereka diakui dan diterima oleh masyarakat dan Gereja? Sejauh ini lingkungan masyarakat di sekitar mess pabrik atau perkebunan masih bisa dimaklumi dan serba maklum. Dari pihak Gereja selalu mengajak untuk membereskan perkawinan mereka, namun ada beberapa hal yang menjadi alasan mereka belum mau diberkati: tidak ada surat baptis, belum siap, sulit untuk mengikuti persiapan perkawinan, dll.

IV.                HARAPAN DAN CITA-CITA BURUH MIGRAN PERANTAU

Setiap orang pasti punya harapan atau cita-cita. Mereka pun tentunya punya harapan dan cita-cita untuk masa depan mereka, paling tidak mereka berharap mempunyai kehidupan yang lebih baik. Namun jika ditanya secara lebih konkrit kehidupan yang bagaimana dan macam apa yang mereka harapkan pada umumnya mereka tidak tahu pasti. Apakah mereka akan seterusnya tinggal di mess sebagai pekerja/buruh, apakah mereka akan kembali ke Timor nantinya, apakah mereka akan menjadi warga penduduk Sumatera dengan mempunyai sebidang tanah, dan seterusnya, mereka tidak tahu. Pada umumnya mereka pasrah menerima keadaannya yang sekarang bekerja sebagai buruh panen kelapa sawit atau di pabrik. Bagi mereka yang masih bujangan mungkin belum merasakan beban pikiran seperti ini dibandingkan dengan yang sudah berkeluarga, yang penting mereka dapat bekerja dan mencukupi kebutuhan hidup mereka yang memang tidak pernah akan cukup.
Bagaimana Gereja menanggapi keprihatinan dan harapan mereka? Dengan melihat kondisi seperti itu kehidupan para buruh migrant perantau tentunya tidak mudah untuk menjawab tantangan ini. Sebelum menjawab pertanyan tersebut mungkin perlu menjawab pertanyaan ini: apakah Gereja peduli atau prihatin dengan kehidupan mereka? Data statistik tentang buruh migrant asal Timor di Sumatera Selatan ini memang belum bisa diperoleh secara akurat, misalnya: berapa banyak jumlah mereka, dengan spesifikasi usia, jenis kelamin, status, tempat kerja, lamanya bekerja sebagai perantau, dll. Namun keberadaan mereka sebagai umat Katolik perantau di Sumatera Selatan sungguhlah nyata. Kita sadar juga bahwa Gereja pertama-tama bukanlah lembaga sosial yang dapat memberikan dana bantuan kepada fakir miskin. Gereja adalah paguyuban umat yang mengimani Kristus dan mendapat mandat tugas dari Kristus untuk menyampaikan warta keselamatan bagi umat manusia. Ada 5 pilar tugas pastoral Gereja, yaitu: Liturgia, Kerugma, Diakonia, Koinonia dan Martyria. Pertanyaannya adalah: bidang pastoral yang mana yang sudah menyentuh kehidupan mereka sebagai umat Katolik buruh migrant perantau? Dalam kenyataannya:
·         mereka masih sulit untuk menjalankan liturgi dengan baik, belum terlibat aktif alam perayaan Ekaristi baik persiapan maupun pelaksanaannya; banyak keluarga yang belum menerima sakramen perkawinan (hanya kawin adat), ada yang belum krisma, komuni pertama, bahkan ada yang belum baptis (bidang liturgi)
·         pengetahuan iman katolik sangatlah minim karena faktor pendidikan yang rendah (bidang kerugma)
·         mereka belum pernah dijangkau oleh pelayanan sosial gereja, seperti misalnya: kesehatan, koperasi, advokasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka terhadap pengusaha, dll. (bidang diakonia)
·         sebagai umat Katolik mereka belum merasakan keterlibatan sebagai warga Gereja/Paroki  setempat (bidang koinonia)
·         dll

Kiranya dengan melihat kenyataan seperti ini kita sebagai warga Gereja menjadi sadar bahwa ada umat kita yang situasi hidupnya masih jauh dari sejahtera, baik material maupun spiritual. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua sebagai warga Gereja Katolik di Keuskupan Agung Palembang.

V.                  BEBERAPA MASUKAN ATAU USULAN UNTUK PASTORAL BURUH MIGRAN PERANTAU

Apa yang saya kerjakan selama ini untuk mendampingi para buruh migrant asal Timor di beberapa tempat kiranya belum bisa disebut karya kerasulan Keuskupan, karena bidang ini masih dibilang baru dalam pelayanan pastoral Gereja, walaupun memang dilakukan di wilayah Keuskupan Agung Palembang. Paling tidak apa yang saya kerjakan ini bisa menjadi tawaran atau kemungkin untuk dapat dikembangkan menjadi salah satu Devisi Pelayanan dalam Pastoral di Keuskupan Agung Palembang. Ada beberapa kemungkinan atau usulan yang dapat dipikirkan dan dipertimbangkan, yaitu:
1.       Devisi Pastoral Buruh Migran ini bisa masuk dalam Komisi yang sudah ada yaitu Komisi PSE dengan lembaga sosialnya Pansos Bodronoyo. Namun kiranya bukan sekedar tempelan belaka pada Yayasan yang sudah ada, perlu ada team khusus untuk Devisi ini dan juga masuk dalam program kerja Pansos.
2.       Membentuk team Komisi yang sebenarnya sudah ada di KWI yaitu Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau, dimana Pastoral Buruh Migran masuk dalam salah satu Devisinya. Dengan adanya Komisi ini diharapkan bahwa para buruh migran yang tersebar di wilayah Sumatera Selatan ini mempunyai pusat informasi untuk menyampaikan aspirasi maupun permasalahan-permasalahannya. Kantor Komisi ini juga bisa menjadi rumah singgah atau shellter bagi mereka yang datang dan pergi dari dan ke Palembang, untuk kepentingan cuti atau pun dalam rangka pindah untuk mencari pekerjaan.
3.       Devisi Pastoral Buruh Migran ini, atau bahkan Komisi KP-PMP ini, juga dapat diserahkan pelaksanaannya kepada Tarekat-tarekat religius yang berkarya di Keuskupan Agung Palembang ini. Masing-masing Terekat Religius yang ada Keuskupan Agung Palembang dapat mengutus anggota-angotanya yang bergerak di bidang JPIC untuk membentuk Team Pastoral atau bahkan Komisi Keadilan-Perdamaian ini. Lembaga ini dalam prakteknya tetap bekerjasama dengan lembaga Keuskupan yang sudah ada atau dengan Paroki-paroki setempat.

Apa pun bentuk lembaga pastoral buruh migrant ini nantinya dapat bekerjasama dan membentuk jejaring dengan lembaga-lembaga sosial lain (juga lembaga/LSM di luar Gereja) untuk menanggapi isu-isu kemanusiaan yang terjadi di wilayah Keuskupan Agung Palembang ini. Satu contoh pengalaman saya mengikuti workshop VIVAT International di NTT belum lama ini (bulan September 2012). Komisi-komisi JPIC dari berbagai tarekat religius yang tergabung dalam VIVAT International (SVD, SSpS, dll) sudah melakukan banyak kegiatan sosial yang berkaitan dengan isu-isu kemanusiaan di beberapa wilayah karya mereka. Dalam banyak kegiatan mereka juga bekerjasama dengan Komisi JPIC Keuskupan dan Paroki setempat.

Pastoral buruh migrant perantau ini hanya merupakan salah satu keprihatinan atau isu yang menjadi karya sosial Gereja dalam Komisi KP-PMP, masih banyak lagi keprihatinan dan isu kemanusiaan yang terjadi dalam masyarakat kita yang juga menjadi tanggapan keprihatinan Gereja, khususnya di wilayah Keuskupan Agung Palembang. Program-program yang mungkin bisa dilakukan untuk menanggapi isu-isu kemanusiaan ini, misalnya:
·         ANTI PERDAGANGAN MANUSIA (sosialisasi, penanganan korban, advokasi, dll)
·         PEMBERDAYAAN PEREMPUAN (sosialisasi peran perempuan berbasis gender, penanganan korban KDRT, dll)
·         KEPEDULIAN TERHADAP HIV  &  AIDS (sosialisasi bahaya HIV/AIDS)
·         PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP (ekopastoral)
·         PELAYANAN KESEHATAN BAGI KELUARGA MISKIN
·         SOSIALISASI DAN PEMBANGUNAN KELOMPOK KEADILAN DAN PERDAMAIAN
·         ADVOKASI DAN MEDIASI UNTUK MASALAH-MASALAH PERBURUHAN DAN TAMBANG
·         LITBANG UNTUK PROGRAM-PROGRAM SOSIAL
·         DLL.

Wilayah Keuskupan Agung Palembang cukup kaya akan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Alamnya (SDA). Di Keuskupan Agung Palembang ini banyak umat dengan bermacam-macam profesi yang bisa diajak untuk menjadi promotor keadilan dan perdamaian. Melalui paroki-paroki, lembaga pendidikan dan kesehatan, team pastoral JPIC ini dapat mensosialisasikan isu-isu kemanusiaan, membuat program kegiatan preventif, dan juga penanganan korban secara efektif dan terpadu. Di wilayah Keuskupan Agung Palembang ini banyak sumber alam (gas dan non migas) yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat tanpa merusak alam itu sendiri, seperti misalnya: perkebunan kelapa sawit, karet, juga banyak sumber-sumber mineral seperti minyak, gas bumi, timah, batu bara; dan juga penambangan bahan-bahan material, seperti pasir, batu, kapur, dll. Bila dicermati dan didokumentasikan ternyata masih banyak umat/masyarakat (juga alam lingkungan) yang mengalami ketidak-adilan berhadapan dengan struktur yang ada, baik itu berhadapan dengan pemerintah, pengusaha, maupun lembaga-lembaga sosial lain. Kiranya bagaimana cara Gereja menanggapi masalah-masalah sosial yang terjadi dalam umat dan masyarakat sangat sesuai dengan Visi-Misi Keuskupan Agung Palembang yang ingin mewujudkan kehadiran Gereja Kristus sebagai Sakramen Keselamatan bagi masyarakat Sumatera bagian Selatan. Semoga dari beberapa usulan atau keprihatinan yang disampaikan dalam tulisan ini dapat menjadi pertimbangan bagi semua orang peduli akan masalah-masalah sosial di Keuskupan Agung Palembang ini.
Sudah hampir satu tahun saya memulai pastoral buruh migrant ini di bawah Yayasan Pansos Bodronoyo. Saya menyadari bahwa tidak mudah untuk menambahkan suatu Devisi yang baru ke Lembaga Sosial yang sudah ada dan sudah rapih tersusun dengan program-program pengembangan sosial ekomominya. Saya baru sanggup mendampingi tiga kelompok buruh migrant dengan segala keterbatasan dana dan sarana transportasi. Namun dengan kemauan, waktu dan tenaga yang ada saya mulai mendampingi mereka secara sederhana. Sebenarnya masih banyak kelompok-kelompok lain yang jumlahnya cukup besar yang tersebar di perkebunan-perkebunan sawit di Sumatera bagian Selatan ini. Kiranya mereka pun pantas mendapat perhatian khusus dari Gereja secara lebih professional untuk dibantu dan ditemani dalam perjuangan mereka mengusahakan hidup yang lebih layak sebagai manusia.


Palembang, Oktober 2012

Rm. Antonius Dwi Pramono SCJ

Member of VIVAT International
Working for justice, Promoting Peace, Preserving Lives