Selasa, 03 September 2013

Sebuah Kisah Korban Perdagangan Manusia - Mau ikut bapak

“MAU IKUT BAPAK” Sebuah Kisah Korban Perdagangan Manusia Pengantar Kisah “SUARA KEBISUAN”, demikianlah judul sebuah buku yang mengisahkan tentang perjumpaan dengan para perempuan korban perdagangan manusia yang diterbitkan oleh Pusat Pelayanan Gembala Baik untuk Perempuan dan anak, bersama dengan lembaga kemanusiaan dari Belanda “Mensen met een Missie”. Yang akan ditampilkan berikut ini adalah salah satu dari delapan kisah menyedihkan para perempuan korban trafficking yang disharingkan dalam buku itu. Buku itu dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang perbudakan di jaman sekarang ini. Ada kisah tentang Sari dan Vera, yang mengalami nasib malang sebegai pekerja migran di luar negeri, dan setelah kembali ke tanah air masih terjebak dalam perdagangan manusia untuk pekerja seks di Batam. Ada kisah Lina, salah seorang dari sekian banyak buruh migran yang dideportasi dari Malaysia. Setibanya di Indonesia Lina mengalami gangguan jiwa akibat perbudakan yang dialami selama bekerja di Malaysia. Ada kisah Mira yang dimanfaatkan diperbudak oleh pamannya sendiri. Dan kisah perempuan-perempuan lain yang mengalami perbudakan akibat berbagai modus perdagangan manusia. Bagi siapapun yang mendengarkan hati nuraninya pasti akan sangat merasa miris melihat atau mendengarkan banyaknya anak-anak, perempuan-perempuan dijadikan pekerja seks atau tenaga kerja paksa. Kita menyaksikan begitu banyaknya penyiksaan, pemerkosaan, peledehan, kekerasan dan masalh-masalah lain dialami oleh saudara-saudari kita yang bekerja di luar negeri, namun tetap saja bekerja ke luar negeri diidolakan oleh banyak orang. Suster Lia RGS, sebagai Koordinator Pusat Pelayanan Gembala Baik untuk Perempuan dan Anak, menyampaikan harapannya kepada para pembaca: “Kami berharap semoga buku ini menyadarkan banyak orang akan maraknya fenomena Tindak Perdagangan Manusia dengan aneka macam modus yang sedemikian cerdik mencari orang untuk diperdagangakan dan siapa saja bisa terjebak menjadi korbannya. Semoga buku ini menggerakkan hati para pembaca untuk menunjukkan solidaritas kepada saudara-saudari yang menjadi korban, dan mengambil langkah untuk bersama-sama menghentikan tindak Perdagangan Manusia yang banyak terjadi di sekitar kita”. “MAU IKUT BAPAK” Berjumpa dengan bapak adalah impian Ristin. “Sejak bapak pergi ke Malaysia, kakak! Bapak pergi bersama dengan teman satu kampung” katanya. Kampung Ristin di Kefa, jauh di perbukitan dan harus ditempuh dengan jalan kaki setelah melalui empat jam perjalanan naik angkutan dari kota Kupang. “Bapak tidak pernah pulang jenguk mama dan anak-anak, tetapi bapak dulu pernah kirim uang untuk keluarga kami. Stelah itu tidak pernah ada lagi kiriman” cerita Ristin. Dia mengatakan bahwa tetangganya yang pergi bersama dengan sang bapak juga bernasib sama, tidak ada kabar dari bapak mereka. Sejak bapak dan laki-laki dewasa di kampung pergi merantau, hanya nenek dan para ibu yang tinggal di kampung karena mereka harus menurus anak-anak kecil. “Nenek, mama dan saudaraku tinggal di rumah peninggalan kakek” kata Ristin. Ristin menggambarkan rumahnya sebagai sebuah rumah khas pedesaan di pinggiran kota Kupang Nusa Tenggara Timur yang atap dan dindingnya terbuat dari daun kering beralas lantai tanah. Tidak ada alat elektronik seperti Televisi yang umum dimiliki oleh masyarakat zaman ini, karena listrik belum masuk di kampung. Mereka memilih berada di dalam rumah bila malam tiba karena penerangan menggunakan obor. Sebagai anak perempuan Ristin harus membantu mamanya bekerja di kebun. Dia hanya merasakan sekolah sampai di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. “Teman-teman banyak yang tidak lanjut sekolah karena harus bantu orangtua” ungkap Ristin. Beratnya kehidupan di kampung membuat Ristin sangat ingin bekerja ikut dengan bapaknya ke Malaysia. “Kata orang, di Malaysia hidup enak, tidak seperti di kampung, bisa beli apa saja gampang. Bayarannya Ringgit, pasti besar” tambah Ristin. Melalui pernyataan ini, dia membandingkan kondisi kampungnya yang serba sulit dengan imaginasi hidup yang bebas dari kesulitan. Malaysia menjadi sebuah tempat imajiner yang menyediakan segalanya. Tempat dambaan yang bukan kampungnya, kampung yang untuk membeli apa-apa harus pergi ke kota. Ristin merasa harapannya terjawab ketika dia berjumpa dengan seorang pria dari kota Kupang. Orang ini menawarkan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga. Ristin waktu itu tidak punya pengalaman apapun. “Om ini mencari anak perempuan yang mau kerja rumah tangga di Kupang. Om itu bilang kalau sudah sampai Kupang nanti bisa kemana-mana termasuk juga ke Malaysia” jelas Ristin. Ristin merasa telah mendapat cara untuk bertemu dengan bapaknya. Tawaran itu langsung dia sambut dengan meminta izin dari mamanya untuk bekerja di Kupang. Waktu berangkat ke Kupang, umurnya baru 14 tahun. Namun dia merasa sudah cukup besar untuk bekerja rumah tangga. Dia bekerja di rumah sebuah keluarga kelas menengah di kota Kupang. Keluarga ini memberikan waktu libur tiap minggu supaya Ristin bisa pulang ke kampung. Tapi tidak setiap akhir pekan dia pulang ke kampung. Ristin terkadang menghabiskan waktu di rumah majikan sehingga dia mulai mengenal dengan tetangga sekitar. Suatu hari Ristin berkenalan dengan seorang buruh bangunan yang bekerja proyek di dekat tempat kerjanya. Awalnya mereka hanya berteman, tapi lama kelamaan mereka pun berpacaran. “Aduh aku senang punya pacar” kata Ristin tersenyum malu. Pada masa itu akhir pekan Ristin menjadi indah. “Aku sama dia dulu sering jalan-jalan kalau libur” katanya. Menurut Ristin majikan tidak tahu kemana dia pergi waktu libur, ketika pacarnya mulai mengajak Ristin menginap di kontrakanbersama dengan pacarnya. “Dia janji mau nikah sama aku kalau sudah punya uang nanti” cerita Ristin sambil tersenyum. “Aku mau saja masak dan melayani semua keperluan dia” katanya. Ketika ditanya apakah juga harus melayani keinginan seks pacarnya, Ristin mengangguk. “Lama-lama jadi biasa” tambahnya sambil menunduk.... Kisah Ristin dengan pacarnya tidak berlangsung lama. Proyek bangunan selesai dan Ristin menemukan kenyataan bahwa pacarnya pergi begitu saja tanpa kabar. “Dia kabur. Aku sudah cari kemana-mana tidak ada” kisahnya. Setelah kepergian sang pacar, Ristin kecewa tapi dia berusaha bersikap biasa saja. Dia terus menjalani hidup sebagai pembantu dengan segala tugasnya. Seperti biasa, Ristin pergi ke pasar untuk berbelanja. Pasar merupakan tempat orang-orang saling bertukar informasi, gossip dan kabar berita. Suatu hari Ristin mendengar kabar tentang Om yang dapat membantu mencarikan pekerjaan dengan gaji besar di Malaysia. Kata orang-orang di pasar, dia petugas lapangan yang mencari calon pekerja untuk PT di Malaysia. Ristin sendiri tidak mengetahui apa itu petugas lapangan. “Om itu katanya bisa bawa aku ke Malaysia tanpa bayaran, hanya potong gaji saja tiap bulan. Katanya gampang saja, karena gaji di Malaysia sudah pasti besar” kisah Ristin. Terpikat dengan tawaran gaji besar dan pekerjaan yang mudah, Ristin pun menemui pekerja lapangan di pasar, dia mungkin akan bertemu dengan bapaknya di Malaysia. Dia pun memutuskan keluar bekerja dan ikut dengan si Om yang telah meyakinkan hatinya. Om pekerja lapangan kemudian membawa Ristin ke sebuah penampungan calon pekerja milik perusahaan penyedia jasa tenaga kerja swasta. Ristin tinggal selama beberapa hari di penampungan untuk pengurusan dokumen karena dia tidak memiliki dokumen apapun. Perusahaan ini lantas membuatkan KTP untuk Ristin, tapi petugas menambah umur Ristin dengan alasan supaya gampang. “Umur aku jadi 21, kak!” kata Ristin. Sejak berada dalam penampungan, Ristin tidak pernah bertemu lagi dengan orang yang membawanya ke sana. Dia diberitahu bahwa pengiriman ke Malaysia sedang tidak ada, maka semua akan dikirim ke Batam. “Tidak apalah dikirim ke Batam karena banyak orang yang bilang kalau Batam kota besar, gampang cari uang dan pergi ke Malaysia bisa juga dari Batam” kata Ristin. “Aku naik pesawat, kak!” Ristin menambahkan sambil tersenyum. Naik pesawat adalah peristiwa bersejarah dalam kehidupan Ristin. Sebelumnya tidak pernah sedikitpun dia membayangkan rasanya menaiki alat transportasi yang malayang-layang di udara. Ada sebuah kebanggaan besar yang dia rasakan ketika menyebutkan kata “naik pesawat”. Tidak semua orang di kampungnya pernah naik pesawat. Alat transportasi ini pun berubah menjadi media untuk menaikkan status sosial bagi seseorang yang hidup dalam ketidakberuntungan. Sesampai di Batam Ristin langsung dibawa ke sebuah penampungan. Ristin tidak mau menceritakan apa yang dia alami selama berada di penampungan. “Penampungan ya seperti itulah, kak!” katanya dan guratan kesedihan mulai tampak di wajahnya. Penjelasan tentang penampungan yang muncul dari mulutnya bahnyalah sebuah tempat dimana orang tidur berdesakan sampai mereka mendapatkan majikan. “Dimarahi sudah biasa, kak!” katanya. Selama di penampungan Ristin tidak diperbolehkan keluar dan tidak ada akses baginya untuk menghubungi sanak keluarga. Segala tindakan Ristin diawasi oleh para penjaga yang berwajah menakutkan. Tidak ada orang yangberani melarikan diri dari penampungan karena pasti ditangkap kembali oleh para penjaga yangmengawasi selama 24 jam. Risti juga mengatakan bahwa mereka yang berada di penampungan harus mau dipekerjakan sebagai apa saja. Ristin tidak terlalu lama tinggal di penampungan karena ada majikan yang datang ke penampungan dan memilihnya. Ristin bekerja selama 3 bulan tanpa pernah keluar dari rumah. Selama bekerja dia tidak mendapatkan gaji karena setiap bulan majikan langsung memberi gaji Ristin ke perusahaan yang merekrut Ristin. Perusahaan ini mengatur dan menyimpankan gaji pekerja selama 9 bulan agar pekerja tidak kabur dan janjinya uang akan diberikan pekerja pada saat pulang. Pada kenyataannya tidak ada uang sepeser pun yang diberikan perusahaan untuk pekerja yang direkrutnya. Setelah 3 bulan bekerja majikan menemukan Ristin sakit dan hampir pingsan. Majikan pun membawa Ristin ke dokter. Dari dokter diketahui bahwa Ristin tidak sakit, tetapi sedang mengandung. Sang majikan yang tidak menghendaki pekerja yang mengandung meninggalkan Ristin di dokter yang selama ini memberikan pelayanan kesehatan bagi klien di shelter Gembala Baik. Menyadari bahwa Ristin adalah “asset” dari perusahaan penyalur tenaga kerja yang cukup terkenal di Batam yang sedang dicari-cari oleh sekelompok preman, para suster Gembala Baik pun menjaga agar dia tidak diketahui keberadaannya. Sejak saat itulah Ristin tinggal di shelter sampai melahirkan anaknya. Usianya yang masih belia membuat Ristin sulit untuk memahami arti menjadi seorang ibu. Ristin tidak mengetahui bahwa dia hamil. Ristin juga tidak merasakan gerak bayi yang ada dalm kandungannya sampai usia kandungannya tujuh bulan. Ristin memperlihatkan penolakan terhadap anaknya sendiri, karena bayi ini hasil hubungannya dengan lelaki pekerja bangunan yang kabur dari Kupang. Contoh lain, ketika bayinya menangis meminta minum, dia malah memarahi bayinya atau membiarkan bayinya terus menangis. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk Ristin melakukan rekonsiliasi dengan diri sendiri, bayinya, serta keluarganya. Setelah melalui proses rekonsiliasi dengan keluarganya, kami pun mengantar Ristin dan bayinya pulang ke kampung halaman dan berjumpa dengan nenek beserta ibunya. Tangis mengharukan pecah dari kedua perempuan tua yang menyambut Ristin. Tetapi Ristin sepertinya belum sepenuhnya paham karena dia masih berkata: “Suster, aku mau ikut bapak ke Malaysia”.