KISAH
TENTANG WINDI – PENANGANAN KORBAN HUMAN TRAFFICKING
Kisah perjalanan Windi (nama aslinya Windelina Naif) memang
tidak bisa diketahui secara persis, karena kondisi kejiwaan Windy yang masih
labil sehingga dia juga tidak bisa cerita secara detil. Kondisi jiwa yang
stress dan trauma akibat kekerasan yang dialami juga membuat orang takut untuk
bercerita, seperti contoh ketika Windy ditanya bagaimana atau apa pekerjaannya
di Medan ia seperti ketakutan.
Berikut ini cerita dari Bpk Abraham. Bpk
Abraham adalah seorang satpam senior dan dipercaya pada sebuah PT pabrik karet
tempat bekerja para buruh dampingan kami yang berasal dari Timtim.
Beberapa hari sebelum hari raya Lebaran
pertengahan bulan Agustus yang lalu, Windi ditemukan oleh seorang Bapak di
sebuah warung makan, kondisinya seperti orang stress/gila. Rambutnya dicat
dengan cat biasa untuk bangunan rumah. Dia sedang tidur, kalau bangun ngomong
sendiri, kadang juga marah-marah. Bapak ini dulu pernah bertugas di Timtim
sebelum kemerdekaan Timor Leste. Melihat ciri-ciri fisik Windy seperti orang
dari wilayah NTT, maka Bapak ini menghubungi Bapak Abraham yang ia kenal supaya
menjemputnya kalau-kalau Bapak Abraham kenal dengan Windy ini. Setelah sampai
di TKP Bapak Abraham mengatakan bahwa ia tidak kenal, tapi mungkin teman-teman
di mess pabrik ada yang mengenal Windi karena menurut pengakuan Windy ia berasal
dari Kupang. Dengan susah payah Bapak Abraham membujuk Windy untuk mau dibawa
ke mess pabrik, bahkan Windy sempat takut dan berontak karena mungkin trauma
yang dideritanya selama perjalanan sampai Palembang.
Sampai
di mess Windy dirawat dan dibersihkan oleh ibu-ibu keluarga buruh di mess
pabrik, dia mulai tenang dan mau makan. Beberapa hari memang masih sulit untuk
diajak bicara, dia banyak diam. Lama kelamaan dia mulai percaya karena merasa
aman di mess itu bersama orang-orang sesama Timor. Sedikit demi sedikit
diketahui kisah Windy, namun masih simpang siur dan tidak runtut karena kondisi
traumanya. Menurut ceritannya yang tidak rinci itu, Windy diajak merantau
mencari pekerjaan oleh temannya Dian (tidak jelas siapa Dian itu) satu tahun
yang lalu. Ternyata dia berasal dari Kupang, suku Dawan. Menurut kisahnya,
sesampai di Bandara Jakarta Windy terpisah dengan temannya itu karena
ketinggalan pesawat. Lalu ada orang yang prihatin akan keadaannya dan dibawa ke
Medan. Di Medan Windy diberi pekerjaan, tidak jelas pekerjaan apa. Sempat juga
Windi menuturkan bahwa dia disuruh bekerja di sebuah Café. Mungkin karena tidak
tahan atau kerena ada masalah diperlakukan tidak baik, dia kabur dan mau
kembali ke kampungnya di Kupang. Tidak tahu bagaimana cerita perjalanannya bisa
sampai Palembang, katanya cuma berjalan kaki (???) Dalam kondisi jiwa yang
labil dan stress akhirnya sampailah Windi di Palembang. Yang memprihatinkan
lagi adalah bahwa Windy dalam keadaan hamil 7 bulan. Windy tidak pernah cerita
tentang siapa orang yang menghamilinya, kalau ditanya dia diam. Begitulah kira2
kisah perjalanan Windi yang bisa kami ketahui, selebihnya atau tepatnya kami
tidak sanggup menggalinya.
Selama
di mess pabrik Windi dirawat dan ditemani oleh teman-teman buruh dari Timor, dia
bisa berkomunikasi dengan baik walau tetap ada yang masih rahasia yang
terungkap. Dia sudah bisa bercanda, bernyanyi dan menari. Kami juga sudah
membawa Windi ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatan dan kehamilannya. Dengan
bantuan Sr. M. Lusiana FCh (JPIC FCh), propinsial FCh dan juga RSK Myria, Windi
mendapat pelayanan pemeriksaan kesehatan dan kehamilan. Setelah kira-kira satu
bulan berada di mess pabrik akhirnya kami mendapat informasi melalui jejaring
sosial Facebook bahwa ada orang yang mengaku sebagai keluarganya Windi. Setelah
mengadakan komunikasi dan memastikan bahwa mereka adalah benar kakak-kakak
Windi, kami menyampaikan bahwa Windi harus dijemput oleh pihak keluarga dan
dibawa pulang ke kampung halamannya di Kupang. Pada tanggal 10 September 2012
seorang kakak Windi yang bernama Ida (nama
aslinya Florinda Naif) yang bekerja di Surabaya datang ke Palembang untuk
menjemput Windi. Suatu peristiwa perjumpaan yang mengharukan bahwa Windi yang
sudah dikabarkan hilang kini sudah ditemukan kembali, lebih-lebih melihat
kondisi dan kisah perjalanan Windi yang menyedihkan. Kami membicarakan secara
terbuka rencana selanjutnya. Secara terus terang Kakak Ida ini menyampaikan
bahwa sampai ada berita ditemukannya Windi mereka (kakak-kakak Windi) masih
merahasiakan kondisi Windi yang sebenarnya (stress dan hamil). Kakaknya ini
ingin supaya Windi bisa melahirkan dahulu sebelum dibawa pulang ke kampung,
entah dimana dan bagaimana caranya. Sebenarnya kami ingin membantu Windy hingga
proses kelahirannya, namun karena kondisi kami dan teman2 di mess serba
kekurangan (keluarga buruh miskin) maka kami katakan bahwa kami tidak sanggup.
Pernah kami mengusulkan untuk membawa Windi dan kakaknya ke Griya Nazaret di
Podomoro, yaitu tempat untuk menampung perempuan-perempuan yang hamil di luar
nikah. Pihak Griya Nazaret pun mengatakan tidak sanggup untuk menampung kasus
seperti Windi ini.
Inilah
data-data keluarga Windi yang bisa kami himpun dari hasil pembicaraan dengan
kakak Windi:
Nama
Ayah : Yohanes Naif
Nama
Ibu : Yuliana Palbeno
Alamat : Desa Lemo,
RT 05/RW 03
Kec. Meomafo Barat (Eban), Kab. Timor Tengah
Utara (TTS)
Warga
Paroki : Santa Maria diangkat
ke Surga.
Saudara2
(Anak2) : Mereka 7 bersaudara.
1.
Yasinta Naif (suaminya: Raimundus) tinggal di Eban
2.
Klorinda Naif (kerja di Surabaya, yg skrg jemput ke Palembang)
3.
Yovita (Surabaya)
4.
(meninggal)
5.
Monica Naif (TKI di Hongkong)
6.
Windelina Naif (Windy)
7.
Armandus (SMA di kampung)
Setelah
pertemuan dengan kakak Windi tersebut saya berangkat ke NTT untuk mengikuti
Workhsop VIVAT International di Kuwu, Ruteng, NTT. Dalam Workshop itu saya
menyampai-kan kasus Windi ini kepada teman-teman VIVAT yang juga menangani para
korban human trafficking. Akhirnya ada teman VIVAT yaitu dari JPIC
suster-suster SSpS dari Surabaya bersedia untuk menampung Windi dan kakaknya.
Melalui komunikasi telpon dan bantuan Sr. Lusiana FCh akhirnya Windi dan
kakakmya sudah dikirim ke Surabaya untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan
secara professional oleh teman-teman JPIC SSpS disana.
Beberapa hal yang menarik untuk
dipelajari dari kasus Windy ini, walaupun belum begitu jelas apa dan bagaimana
penyebab sesungguhnya yang dialami oleh seorang seperti Windy ini.
1. Mungkin
saja bahwa yang dikatakan sebagai teman Windy itu, yaitu Dian, adalah salah
seorang dari jaringan perdangan manusia (trafficking). Secara halus dan rapi
dibuat skenario hingga Windi terpisah dengannya di Bandara Jakarta dan
“ditemukan” oleh seorang yang “baik hati”. Maka terjebaklah Windi dalam
perdagangan manusia.
2. Dimana
peran aparat kepolisian menghadapi kasus-kasus human trafficking seperti kasus
Windi ini?
3. Windy
ditampung sementara di mess pabrik oleh keluarga-keluarga buruh asal Timor di mess
pabrik. Walaupun dalam keadaan serba kekurangan teman-teman di mess rela
membantu untuk Windy semampu mereka. Dalam keadaan kekurangan mereka masih mau
membantu sesamanya yang terlantar. Bagaimana jika ada kasus lagi seperti Windi
ini terjadi di Palembang? Apakah yang bisa kita lakukan sebagai warga Gereja
Keuskupan Agung Palembang untuk menangani isu-isu human trafficking pada
khususnya dan masalah-masalah buruh migrant pada umumnya?
Semoga tulisan ini bisa menjadi
peringatan dan pembelajaran bagaimana menghadapi masalah-masalah sosial seperti
human trafficking ini.
Palembang, 12 Oktober 2012
Rm. Ant. Dwi Pramono SCJ